Jentera Jurnal Hukum

Browse

Recent Submissions

Now showing 1 - 5 of 14
  • Item
    Jentera Jurnal Hukum Peraturan Daerah Edisi 14 Tahun IV Oktober - Desember 2006
    (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2006-10-10) Syarif Hidayat; P. Agung Pambudhi; Rivandra Royono; Ratno Lukito; Anna Christina Sinaga; Dewi S. Tjakrawinata; Bernadinus Steni
    Peraturan daerah merupakan jenis aturan dalam hierarki peraturan perundang-undangan kita yang jumlahnya luar biasa dahsyat. Banyak sekali. Departemen dalam negeri sekali pun, saya kira, tidak dapat menentukan secara pasti berapa jumlah peraturan daerah ini sampai sekarang. Maklum semenjak masa desentralisasi awal 2000 lalu, jenis peraturan inilah yang makin mendominasi munculnya aturan di masyarakat daerah. Syarif Hidayat, peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menguraikan dengan sangat menarik soal desentralisasi ini. Lewat tulisannya di awal edisi ini, Syarif Hidayat mengemukakan adanya dua cara pandang berbeda antara kelompok positivis dan relativis dalam melihat desentralisasi.
  • Item
    Jentera Jurnal Hukum Perempuan dan Hukum Edisi 22 Tahun VI Januari - April 2012
    (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2012-01-01) Agus Pratiwi; Pramudya A. Oktavinanda; Hilda Suherman; M. Farid Hanggawa; Adil Surowidjojo; Fajri Nursyamsi
    Kesetaraan dan keadilan gender menuntut perubahan sistem dan struktur patriarki yang tercemin di pemerintahan, parlemen, dan penegak hukum. Berbicara tentang hukum, masih banyak orang yang menganggap bahwa hukum harus bersikap netral untuk memberikan keadilan dalam masyarakat. Akan tetapi, justru hal itu ditentang oleh kaum feminis. Netralitas hukum justru tidak menyentuh pengalaman perempuan secara keseluruhan. Identitas perempuan justru dianggap homogen. Donny Danardono menegaskan sekali lagi bahwa "musuh" baru perempuan adalah melakukan homogenisasi terhadap pengalaman dan identitas individual perempuan (Irianto,2006, 26) Hukum merupakan aspek penting dalam kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Adanya hukum yang nondiskriminatif membuat perempuan terlindungi dan menjadi pertanda diakui sebagai warga negara. Terkait hal tersebut, JENTERA edisi 22 ini membahas perempuan dan hukum.
  • Item
    Jentera Jurnal Hukum Privatisasi Edisi 3 Tahun 2003
    (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2003-01-01) Eko Prasetyo; Yanuar Nugroho; Revrisond Baswir; A. Patra M. Zen; Uli Parulian Sihombing; Sri Mulyani Indrawati; Asep Saefullah
    Mengapa privatisasi? Bicara privatisasi bukan hanya bicara kontroversi seputar kasus-kasus yang mengemuka belakangan ini seperti kasus Indosat. Pelacakan justru mesti dilakukan sejak awal ide privatisasi muncul. Bagaimana ide ini lahir dari evolusi pemikiran soai negara dan ekonomi hingga menjadi salah satu trend dalam perbaikan ekonomi negara-negara dunia ketiga. Kalau banyak terbitan lain mengupas privatisasi dari aspek hukum maupun politiknya, JENTERA edisi ketiga ini mengajak pembaca untuk mencermati dampak privatisasi bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana masyarakat luas yang tidak punya akses ekonomi, politik, informasi, dan pendidikan terkena dampak jangka panjang dari privatisasi. Tentunya tidak berhenti di situ. Neraca opini dicoba untuk diseimbangkan dengan memberikan warna soal dampak positif privatisasi bagi perekonomian Indonesia. Soalnya memang ideologis hingga hampir bisa dipastikan tidak akan ada jalan tengah, kecuali soal prosedural yang menyangkut kehati-hatian dalam memilih jalan menuju privatisasi.
  • Item
    Jentera Jurnal Hukum Ruang dan Hukum Edisi 21 Tahun VI Januari - April 2011
    (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2011-01-01) Antonius Cahyadi; Stijn Cornelis van Huis; Hendro Sangkoyo; Dian Rosita; Yance Arizona; Prayekti Murharjanti
    Hukum selalu identik dengan keadilan. Sangat sulit membayangkan bahwa hukwn memiliki tafsir yang berbeda dari itu. Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, keadilan menjadi sesuatu yang problematis karena akan memunculkan pertanyaan "keadilan yang mana" atau "keadilan menurut siapa". Teori komunikasi Jurgen Habermas kemudian memberikan pandangan bahwa hukum yang legitimate adalah yang melalui diskursus atau perdebatan di ruang publik. Atas dasar itulah, Jentera kali ini hadir dengan tema hukum dan ruang. Ruang sering kali menjadi permasalah serius terkait keadilan. Dalam banyak kasus, ruang publik menjadi ruang yang di􀀬uasai oleh kaum mayoritas, sedangkan keadilan minoritas seolah menjadi tidak signifikan. Dengan demikian, keadilan acap kali patut dipertanyakan oleh kaum minoritas.
  • Item
    Jentera Jurnal Hukum Rule of Law Edisi 3 Tahun II November 2004
    (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2004-11-01) Saldi Isra; B. Arief Sudharta; Soetandyo Wignyosoebroto; Marjanne Thermorshuizen-Artz; Dadang Trisasongko; Daniel S. Lev
    Pada edisi ini, kami ingin mengajak pembaca untuk mengangkat clan menggali kembali pemikiran mendasar tentang negara hukum Indonesia dalam kerangka pembaruan hukum. Tema ini perlu kami angkat karena beberapa alasan. Pertama, sejak krisis ekonomi 1997, pemerintah clan masyarakat Indonesia secara lebih intensif dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa banyak peristiwa-peristiwa hukum yang bersentuhan dengan masalah legitimasi dan eksistensi bangsa. Sebut saja konflik dan pergolakan yang muncul di beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keinginan beberapa wilayah untuk memisahkan diri dari NKRI, menjadi cukup alasan untuk kembali menggali konsep dasar negara. Berikutnya, dilakukannya empat kali amandemen UUD 1945 yang menjadi titik tolak utama dalam mencari formasi yang paling tepat terhadap fungsi dan kedudukan lembaga-lembaga negara. Perubahan signifikan ini seyogyanya diikuti dengan perombakan kehidupan bernegara dan kehidupan hukum secara fundamental. Namun, lagi-lagi masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa penegakan hukl.lffi hanya berjalan di tempat. Hukum justru bergantung pada kekuasaan. Berkaitan dengan hal ini, maka perlu dipikirkan kembali secara mendalam makna dari "negara (berdasarkan pada) hukum (rechtstaal) clan bukan kekuasaan (machtstaal)" seperti yang dicita-citakan . Konstitusi. Selain itu, menggali pemahaman kita tentang negara hukum Indonesia yang cocok bagi masyarakat Indonesia sekaligus menghindari transfer konsep-konsep asing yang dianggap mirip clan menanamkannya ke dalam bumi Indonesia.