Jentera Jurnal Hukum
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Jentera Jurnal Hukum by Issue Date
Now showing 1 - 16 of 16
Results Per Page
Sort Options
- ItemHukum dan Pemaknaannya Menurut Pengalaman Kebahasaan Para Penggunanya: Sebuah Pengantar ke Arah 'Kajian Hukum dengan Pendekatan Semiotik'(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002) Soetandyo WignjosoebrotoAnalisis dari perspektif semiotik merupakan salah satu contoh realisme dalam pemikiran dan analisis hukum, baik pada tataran paradigmatik-teoritik maupun pada tataran produk legislatif dan kasus-kasus di sidang-sidang pengadilan. Analisis-analisis semiotik diprakarsai oleh para realis yang memulai aktivitasnya dalam bentuk gerakan-gerakan sosial politik pembaharuan tatanan sosial dan hukum. Kemudian para realis juga melakukan gerakan yang bersifat akademik dengan melakukan dekonstruksi-rekonstruksi paham dan teori dalam percaturan ilmu hukum. Di Indonesia, sekali pun seruan untuk melakukan reformasi hukum amat kuat dan terlalu sering dikumandangkan, tetapi hasil akhirnya tetap tak terlihat. Sebab upaya perubahan hukum hanya berlangsung sebatas pada norma perundang-undangan positif belaka. Pembaharuan tidak pernah menukik pada upaya dekonstruksi dan rekonstruksi seluruh sistem hukum nasional berdasarkan paradigma-paradigma baru yang nonpositivistik dan nondoktrinal. Pembaharuan hukum yang dikerjakan atas dasar doktrin klasik kaum positivis, pada dasarnya juga beraliran liberal, dimana lebih mengacu pada kepastian hukum undang-undang ketimbang memanfaatkan segala amar putusan hukum untuk kemaslahatan umum. Pembaharuan macam ini tidak akan berhasil mentrasnformasikan konfigurasi dan fungsi hukum yang baru sebagai suatu pranata yang fasilitatif bagi kemaslahatan massa awam.
- ItemJentera Jurnal Hukum Bahasa Hukum Edisi 1 2002(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2002) Soetandyo Wignyosoebroto; Anom Surya Putra; Rizal Mutansyir; Gregory Churchill; Kurniawan; B. Arief Sidharta; Marsillam Simanjuntak; Irma Hidayana; Agus PriyantoEdisi perdana Jentera ditujukan untuk menyediakan media bagi penelitian, penulisan dan pertukaran ide hukum. Jurnal Jentera ingin memberi substansi dalam pembahasan solusi yang terukur, rasional, ilmiah tapi tidak teoritis. Edisi ini mengangkat tema mengenai bahasa yang merupakan salah satu sarana utama penegakan hukum dan kepastian hukum. Jika ditelisik, sebenarnya kritik yang berkembang atas hukum dan penegakannya berhubungan erat dengan bahasa. Misalnya penggunaan bahasa yang rumit, kalimat yang panjang, struktur gramatikal yang buruk, dan terminologi yang tidak ketat. Akibatnya ketentuan hukum sulit dimengerti masyarakat, bahkan oleh penegak hukum. Kritik lainnya berkenaan dengan penyusunan (drafting) ketentuan hukum yang ditengarai sebagai penyebab timbulnya multitafsir atas ketentuan hukum.
- ItemJentera: Jurnal Hukum Edisi 2 Tahun 2003 Hukum dan Yayasan(STH Indonesia Jentera, 2003) Zaim Saidi; Hamid Abidin; Danang Widoyoko; Ibrahim Assegaf; Eryanto Nugroho; Afrizal Tjoetra; Satjipto Rahardjo; Soetandyo Wignyosoebroto; Bivitri Susanti; Rival g. Ahmad; Sebastiaan Pompe; SuhendraEdisi ini diawali dengan tulisan Zaim Zaidi dan Hamid Abidin yang mengetengahkan pemahaman dasar organisasi sosial, terutama gerakan filantropi. Tulisan ini ibarat caraka bagi pembaca yang mencoba menjelaskan secara rinci asal-muasal gerakan filantropi dan perkembangannya di Indonesia, serta bagaimana keberadaannya di negara lain. Bukan hanya secara historis tetapi juga menggambarkan bagaimana hukum di negara setempat mengaturnya. Ini dijelaskan sesuai dengan konsep hukum yang berlaku di masing-masing negara, termasuk bagaimana kebijakan hukum Indonesia mengakomodir kepentingan organisasi nirlaba macam yayasan. Setelah memahami pengertian organisasi sosial dengan berbagai bentuknya, Ibrahim Assegaf dan Eryanto Nugroho pada tulisan berikutnya mengerucutkan bahasannya hanya dalam dua kerangka: menguliti sisi akuntabilitas clan dalam kacamata bisnis (fundrising). Dengan menggunakan pijakan yang sama, Danang Widoyoko mengisi bagian tulisan yang mengangkat ihwal bisnis yang dilakukan oleh yayasan militer, yayasan yang notabene didirikan oleh pemerintah. Bagaimana hukum melegalkan bisnis di tubuh militer bisa dilihat melalui beberapa produk hukum dengan pasal-pasal karetnya. Sementara itu, kami juga menghimpun beberapa pendapat BPK clan Koalisi Ornop untuk RUU Yayasan dalam satu rangkaian wawancara. Kritik terhadap pemerintah dalam proses penyusunan undang-undang juga dilayangkan melalui tulisan Rival G. Ahmad dkk yang mengangkat usulan penyusunan kebijakan yang partisipatif Tulisan ini kemudian didukung dengan pengulasan buku teori negara hukum dan demokratis modern karya filsuf Jerman,Jurgen Habermas. Dengan demikian, Habermas hadir sebagai rujukan atas teori negara hukurn clan demokratsi, sedangkan problema kebijakan partisipatif di Indonesia menjadi fakta atas kesilang-sengkarutan hukum dan demokrasi di tengah era modern. Selebihnya, kami juga menghadirkan wacana lain seperti gagasan neo liberalisme clan sosialisme yang terdapat dalam pasal ekonomi UUD 1945, perihal Judicial "Liability dan informasi tentang perkembangan pembahasan UU Politik, RUU Pemilu serta beberapa usulan RUU Pengadilan dan Kejaksaan.
- ItemJurnal Jentera Edisi Khusus 2003(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2003-01-01) Harkristuti Harkrisnowo; Mardjono Reksodiputro; Rikardo Simarmata; Hamid Chalid; M. Nuzul W; Hikmahanto Juwana; Binziad Kadafi; Frans Limahelu; Asep Saefullah; Herni Sri Nurbayani; Oki Nartadi; Hadi Herdiansyah; Sulistyowati IriantoPemilihan topik "Pendidikan Hukum" sebenarnya muncul dari hasil reformasi hukum yang acap kali melahirkan peristiwa-peristiwa yang ticlak dapat cliantisipasi sebelumnya. Paclahal, di dalamnya telah melibatkan berbagai kalangan, baik itu kalangan intelektual, profesi maupun pembuat kebijakan. Sehingga reevaluasi dan reinterpretasi patut ditelusuri clari dasar pemikiran hukum pada tataran "pendidikannya". Adakah yang keliru dalam sistem pendidikan hukum kita? Sehingga belum mampu menghasilkan ahli hukum yang bisa menjawab tantangan reformasi hukum. Penelusuran dimulai dari sistem dan paradigma hukum yang digunakan perguruan tinggi hukum. Ini penting dielaborasi untuk mendapatkan evaluasi yang bisa memberikan kontribusi dalam acuan kurikulum pendidikan hukum yang dipakai oleh perguruan tinggi hukum.
- ItemJentera Jurnal Hukum Privatisasi Edisi 3 Tahun 2003(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2003-01-01) Eko Prasetyo; Yanuar Nugroho; Revrisond Baswir; A. Patra M. Zen; Uli Parulian Sihombing; Sri Mulyani Indrawati; Asep SaefullahMengapa privatisasi? Bicara privatisasi bukan hanya bicara kontroversi seputar kasus-kasus yang mengemuka belakangan ini seperti kasus Indosat. Pelacakan justru mesti dilakukan sejak awal ide privatisasi muncul. Bagaimana ide ini lahir dari evolusi pemikiran soai negara dan ekonomi hingga menjadi salah satu trend dalam perbaikan ekonomi negara-negara dunia ketiga. Kalau banyak terbitan lain mengupas privatisasi dari aspek hukum maupun politiknya, JENTERA edisi ketiga ini mengajak pembaca untuk mencermati dampak privatisasi bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana masyarakat luas yang tidak punya akses ekonomi, politik, informasi, dan pendidikan terkena dampak jangka panjang dari privatisasi. Tentunya tidak berhenti di situ. Neraca opini dicoba untuk diseimbangkan dengan memberikan warna soal dampak positif privatisasi bagi perekonomian Indonesia. Soalnya memang ideologis hingga hampir bisa dipastikan tidak akan ada jalan tengah, kecuali soal prosedural yang menyangkut kehati-hatian dalam memilih jalan menuju privatisasi.
- ItemJurnal Jentera Edisi Khusus 2003 Pendidikan Hukum(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2003-02-12) Harkristuti Harkrisnowo
- ItemJentera Jurnal Hukum Rule of Law Edisi 3 Tahun II November 2004(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2004-11-01) Saldi Isra; B. Arief Sudharta; Soetandyo Wignyosoebroto; Marjanne Thermorshuizen-Artz; Dadang Trisasongko; Daniel S. LevPada edisi ini, kami ingin mengajak pembaca untuk mengangkat clan menggali kembali pemikiran mendasar tentang negara hukum Indonesia dalam kerangka pembaruan hukum. Tema ini perlu kami angkat karena beberapa alasan. Pertama, sejak krisis ekonomi 1997, pemerintah clan masyarakat Indonesia secara lebih intensif dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa banyak peristiwa-peristiwa hukum yang bersentuhan dengan masalah legitimasi dan eksistensi bangsa. Sebut saja konflik dan pergolakan yang muncul di beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keinginan beberapa wilayah untuk memisahkan diri dari NKRI, menjadi cukup alasan untuk kembali menggali konsep dasar negara. Berikutnya, dilakukannya empat kali amandemen UUD 1945 yang menjadi titik tolak utama dalam mencari formasi yang paling tepat terhadap fungsi dan kedudukan lembaga-lembaga negara. Perubahan signifikan ini seyogyanya diikuti dengan perombakan kehidupan bernegara dan kehidupan hukum secara fundamental. Namun, lagi-lagi masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa penegakan hukl.lffi hanya berjalan di tempat. Hukum justru bergantung pada kekuasaan. Berkaitan dengan hal ini, maka perlu dipikirkan kembali secara mendalam makna dari "negara (berdasarkan pada) hukum (rechtstaal) clan bukan kekuasaan (machtstaal)" seperti yang dicita-citakan . Konstitusi. Selain itu, menggali pemahaman kita tentang negara hukum Indonesia yang cocok bagi masyarakat Indonesia sekaligus menghindari transfer konsep-konsep asing yang dianggap mirip clan menanamkannya ke dalam bumi Indonesia.
- ItemJentera: Jurnal Hukum Edisi 8 Tahun III Maret 2005 Negara dan Kekuasaan(2005-03-01) Agus Wahyudi; Teten Masduki; Danang Widoyoko; Frank Feulner; Daniel S. Lev; Ronald Rofiandri; Farli Elnumeri; Fendry Ponomban
- ItemJentera: Jurnal Hukum Edisi 10 Tahun III Oktober 2005 Legislasi(STH Indonesia Jentera, 2005-10) Andang L. Binawan; Sony Maulana S; Luky Djani; Muhammad Yasin; Tri Ratnawati; Robert Endi Djaweng; Lukman Hakim Saefuddin; Rikardo Simarmata; Dian Noeswantari; Imam Koeswahyono; Daniel Hutagalung; Zainal Abidin; Ratna BataramuntiSebagai bagian dari fungsi parlemen, legislasi layak untuk mendapatkan perhatian. Di sana sarat dengan pertarungan ideologi atau kepentingan ekonomi maupun politik. Semua sumberdaya dikerahkan partai politik atau pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat memenangkan pertarungan di aras legislasi ini, meski kita tahu legislasi sebenarnya tak sesempit ini. Legislasi menghasilkan hukum dalam arti perundang-undangan. Andang Binawan dalam tulisannya, menguraikan ciri-ciri hakiki hukum, mulai dari ciri relasional hukum yang bermakna ganda: relasi antarmanusia sekaligus menyatukannya. Inilah, menurut Andang, sebagai raison d' etre kenapa hukum itu mutlak diperlukan. Di samping itu, ciri relasional ini, masih menurut Andang, menghasilkan turunan dua ciri selanjutnya: minimal clan kompromis. Sampai di sini, artikulasi pertarungan kepentingan dalam aras legislasi itu terjadi. Tri Ratnawati bersama Robert Endi Jaweng dalam tulisannya menganalisa kemungkinan adanya kepentingan ekonomipolitik tertentu di balik pengesahan undang-undang pemekaran wilayah sejak tahun 1998 hingga 2004. Salah satu contoh yang dikemukakan kedua peneliti ini adalah pemekaran Papua yang diduga untuk memecah suara Golongan Karya oleh Megawati yang berasal dari PDI Perjuangan. Produk legislasi di bidang pemekaran wilayah macam ini, memang mendominasi daftar pengesahan rancangan undang-undang di parlemen. Ratnawati clan Endi Jaweng menyebutnya sebagai 'decentralization boom'. Keduanya membagi pengesahan rancangan-yang tentunya berimplikasi pada pemekaran wilayah-dalam empat tahapan berdasar waktu. Hal semacam ini tentu mengundang pertanyaan tersendiri. Sony Maulana, dosen Ilmu Perundang-Undangan, mengajukan pertanyaan filosofis di awal tulisannya. Sebenarnya anggota dewan kita itu cenderung hanya sebagai agen atau wali amanat? Sebagai agen atau perantara, tulis Sony, anggota dewan hanya perlu persuasi para pendukung mereka yang biasanya memanfaatkan praduga kesukuan, latarbelakang daerah, kesamaan agama. Sedanguntuk jadi wali amanat, anggota dewan perlu berargumentasi berdasar fakta dan logika. Inilah, menurut Sony, yang jadi inti pertarungan kepentingan dalam legislasi. Ada perspektif lain yang ditawarkan Luky Djani untuk melihat 'sehat' tidaknya legislasi. Dia mengamati dari sisi efektivitas-biaya, dengan asumsi bahwa produk legislasi juga dipengaruhi oleh elemenelemen dalam prosesnya. Tak terkecuali dari sisi biaya. Tulisan Luky ini diteruskan dengan sebuah penelusuran agak mendalam oleh Muhammad Yasin, wartawan situs hukumonline.com. Yasin mengambil contoh dua undang-undang clan satu rancangan yang dalam proses pembahasannya diduga terjadi politik uang atau suap. Yasin juga mengutip antisipasi hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang berbau suap. Dalam edisi ini, kami menurunkan dua wawancara tentang kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yakni dengan I Wayan Sudirta, anggota DPD dari Bali clan Lukman Hakim Saefuddin dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Mereka beradu argumentasi dengan background kepentingan masing-masing. Kami tempatkan wawancara keduanya dalam rubrik 'Forum'. Jentera edisi ini memberikan 'kejutan' bagi para pembaca. Mulai edisi ini, kami menampilkan sebuah rubrik bernama 'Jejak'. Edisi perdana rubrik ini diisi oleh Daniel Hutagalung yang mengulas tentang pemikiran Mr. Soepomo tentang negara Indonesia. Dengan segenap aktivitas dan pemikirannya semasa hidup, Mr. Soepomo, dianggap sebagai arsitek utama perancang Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen. Cirinya fasistik. Daniel Hutagalung dalam tulisannya dengan seabrek penelusuran literatur, menyatakan bahwa memang 'Negara Orde Baru' adalah penjelmaan yang paling 'mendekati' gagasan negara menurut Soepomo. Tak hanya itu. Daniel juga memaparkan sejumlah dislokasi pada diri Soepomo, dan menutupnya dengan konteks kekinian. Kami kira tulisan ini perlu mendapat apresiasi tersendiri. Di rubrik 'Kisi' ada tulisan Rikardo Simarmata, dosen muda yang konsen pada kajian pluralisme hukum. Tulisannya menguraikan ten tang hukum paskabencana di Aceh. Dia tak sekadar memaparkan masalah hukum yang terjadi, namun juga menjelaskan sejarah keragaman adat di Aceh.
- ItemJentera Jurnal Hukum Peraturan Daerah Edisi 14 Tahun IV Oktober - Desember 2006(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2006-10-10) Syarif Hidayat; P. Agung Pambudhi; Rivandra Royono; Ratno Lukito; Anna Christina Sinaga; Dewi S. Tjakrawinata; Bernadinus SteniPeraturan daerah merupakan jenis aturan dalam hierarki peraturan perundang-undangan kita yang jumlahnya luar biasa dahsyat. Banyak sekali. Departemen dalam negeri sekali pun, saya kira, tidak dapat menentukan secara pasti berapa jumlah peraturan daerah ini sampai sekarang. Maklum semenjak masa desentralisasi awal 2000 lalu, jenis peraturan inilah yang makin mendominasi munculnya aturan di masyarakat daerah. Syarif Hidayat, peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menguraikan dengan sangat menarik soal desentralisasi ini. Lewat tulisannya di awal edisi ini, Syarif Hidayat mengemukakan adanya dua cara pandang berbeda antara kelompok positivis dan relativis dalam melihat desentralisasi.
- ItemJentera Jurnal Hukum Aturan Main Politik Edisi 16 Tahun IV April-Juni 2007(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2007-04-04) T.A Legowo; Antonio Pradjasto; Eryanto Nugroho; Diman K. Simanjuntak; Permadi; Herni Sri Nurbayanti; Veronica; Abdul Rahman; Hendrianto; Supriyadi Widodo Eddyono; Eddy O.S. Hiariej
- ItemJentera Jurnal Hukum Membaca Daniel S. Lev Edisi Khusus(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2008) Robertus Robet; Patra M. Zen; Bambang Widodo Umar; Maria Hartiningsih; Indriaswati Dyah Saptaningrum; Surya Tjandra; August Mellaz; Pipit R. KartawidjajaJentera edisi khusus ini merupakan penghormatan kepada almarhum Daniel S. Lev, Indonesianis yang sangat tajam menganalisis politik maupun sejarah hukum di Indonesia. Pak Dan meninggal karena kanker pada 29 Juli 2006 di Seattle, Amerika Serikat. Untuk mengenang kepergian Pak Dan, diadakan simposium yang mengulas beberapa pemikiran beliau. Edisi ini dibuka dengan cerita Arlene Lev, istri Pak Dan yang narasinya ditulis oleh Herni S. Nurbayanti.
- ItemJentera Jurnal Hukum Lingkungan Edisi 18 Tahun IV Januari - Juni 2008(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2008-01-02) Adriaan Bedner; Maharani Siti Shopia; Gunawan; Dian Abraham; Giri Ahmad Taufik; Bernadinus Steni; E. Fernando M. ManullangDi Indonesia, pengelolaan lingkungan tampaknya menjadi bagian dari tarik-ulur kewenangan antara pusat dan daerah. Desentralisasi politik yang terjadi sepuluh tahun terakhir tidak serta-merta berimplikasi pada desentralisasi di sektor lingkungan, desentralisasi bukanlah subyek yang dominan dalam UU nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Banyak ketentuan yang masih menguatkan peran pemerintah pusat terhadap pengelolaan lingkungan di daerah. Artikel berikutnya, mengulas sejumlah kelemahan aturan sektor lingkungan. Jumlah aturan sektor ini banyak sekali, dan hal ini menimbulkan sejumlah konsekuensi yuridis seperti tumpang-tindih dan disharmoni. Terjadi juga pelanggaran atau eksploitasi alam oleh korporasi, dan isu lingkungan lainnya seperti krisis energi dan kecelakaan radioaktif yang dapat terjadi pada PLTN.
- ItemJentera Jurnal Hukum Advokat Edisi 19 Tahun V April-Juni 2009(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2009-04-04) Mardjono Reksodiputro; Amir Syamsuddin; Frans Hendra Winarta; Abdul Razak Asri; Agus Sardjono; Asfinawati; Herni Sri Nurbayanti; Andhy Martuaraja; Imam NasimaAdvokat, salah satu pilar penegak hukum, tengah mendapat sorotan luas, khususnya di Indonesia. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang mengklaim dirinya sebagai organ tunggal profesi advokat diguncang legitimasi keberadaannya. Sejumlah advokat membuat organisasi tandingan bernama Kongres Advokat Indonesia (KAI). Ada banyak isu yang menjadi pemicu konflik antar advokat ini. Terkait dengan pengaturan organisasi, sebagian pihak berpandangan bahwa advokat tidak perlu diatur melalui undang-undang. Pandangan ini bertolak dari argumen yang menyatakan bahwa di antara penegak hukum, advokat digolongkan sebagai unsur swasta. Advokat, dalam perspektif ini, perlu dibiarkan tumbuh dan berkembang alamiah tanpa ada pengaturan. Yang menjadi alasan utama pandangan ini adalah rasa traumatik atas perlakuan negara terhadap advokat semasa kekuasaan Soeharto. Sehingga, pengaturan advokat bakal membuka peluang intervensi penguasa terhadap profesi mulia ini.
- ItemJentera Jurnal Hukum Ruang dan Hukum Edisi 21 Tahun VI Januari - April 2011(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2011-01-01) Antonius Cahyadi; Stijn Cornelis van Huis; Hendro Sangkoyo; Dian Rosita; Yance Arizona; Prayekti MurharjantiHukum selalu identik dengan keadilan. Sangat sulit membayangkan bahwa hukwn memiliki tafsir yang berbeda dari itu. Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, keadilan menjadi sesuatu yang problematis karena akan memunculkan pertanyaan "keadilan yang mana" atau "keadilan menurut siapa". Teori komunikasi Jurgen Habermas kemudian memberikan pandangan bahwa hukum yang legitimate adalah yang melalui diskursus atau perdebatan di ruang publik. Atas dasar itulah, Jentera kali ini hadir dengan tema hukum dan ruang. Ruang sering kali menjadi permasalah serius terkait keadilan. Dalam banyak kasus, ruang publik menjadi ruang yang diuasai oleh kaum mayoritas, sedangkan keadilan minoritas seolah menjadi tidak signifikan. Dengan demikian, keadilan acap kali patut dipertanyakan oleh kaum minoritas.
- ItemJentera Jurnal Hukum Perempuan dan Hukum Edisi 22 Tahun VI Januari - April 2012(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2012-01-01) Agus Pratiwi; Pramudya A. Oktavinanda; Hilda Suherman; M. Farid Hanggawa; Adil Surowidjojo; Fajri NursyamsiKesetaraan dan keadilan gender menuntut perubahan sistem dan struktur patriarki yang tercemin di pemerintahan, parlemen, dan penegak hukum. Berbicara tentang hukum, masih banyak orang yang menganggap bahwa hukum harus bersikap netral untuk memberikan keadilan dalam masyarakat. Akan tetapi, justru hal itu ditentang oleh kaum feminis. Netralitas hukum justru tidak menyentuh pengalaman perempuan secara keseluruhan. Identitas perempuan justru dianggap homogen. Donny Danardono menegaskan sekali lagi bahwa "musuh" baru perempuan adalah melakukan homogenisasi terhadap pengalaman dan identitas individual perempuan (Irianto,2006, 26) Hukum merupakan aspek penting dalam kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Adanya hukum yang nondiskriminatif membuat perempuan terlindungi dan menjadi pertanda diakui sebagai warga negara. Terkait hal tersebut, JENTERA edisi 22 ini membahas perempuan dan hukum.