Bachelor
Permanent URI for this community
Browse
Browsing Bachelor by Author "Anugerah Rizki Akbari"
Now showing 1 - 13 of 13
Results Per Page
Sort Options
- ItemGanti Kerugian bagi korban Proses Peradilan Pidana (Mengurai Kompleksitas Pilihan Hukum untuk Mendapatkan Ganti Kerugian bagi Korban Penyiksaan dengan Pelaku Anggota Polri)(STHI Jentera, 2022-08-16) Abbas Abdullah; Muhammad Faiz Aziz; Anugerah Rizki AkbariPenelitian ini didasarkan pada premis maraknya anggota Polri yang melakukan penyiksaan saat proses peradilan pidana. Berdasarkan premis tersebut, penulis memilih satu bagian penting, yang seringkali terlupakan, yaitu terkait ganti kerugian. Penelitian ini menganalisis plus-minus dari lima mekanisme yang seyogyanya dapat digunakan untuk mendapatkan ganti kerugian, yaitu: (a) gugatan PMH; (b) ganti kerugian di KUHAP; (c) penggabungan perkara; (d) restitusi; dan (e) Onrechtmatige Overheidsdaad di PTUN. Dari situ, penulis menganalisis mekanisme apa yang seharusnya dibangun agar korban dapat lebih mudah untuk mendapatkan ganti kerugian. Penelitian ini menyimpulkan bahwa yang seharusnya digunakan adalah mekanisme ganti kerugian di KUHAP karena, pada awalnya, merupakan mekanisme designated dan spesifik untuk kasus-kasus seperti ini. Sayangnya, mekanisme ini punya banyak masalah karena ketidakjelasan hukum acara dan rumusan pasal sehingga praktiknya melenceng. Untuk saat ini, mekanisme paling menguntungkan, didasarkan pada praktik di lapangan, adalah mekanisme perdata dengan gugatan PMH. Sayangnya, mekanisme ini juga bermasalah karena, pada banyak kasus, pengadilan membebankan ganti kerugian kepada negara dan pelaku secara tanggung renteng yang membuat eksekusi putusan berlarut-larut.
- ItemKearifan Lokal sebagai Alasan Penghapus Pidana dalam Kasus Tindak Pidana Membuka Lahan dengan Cara Membakar(STHI Jentera, 2021-07-30) Nur Ansar; Anugerah Rizki AkbariTerdapat perbedaan atau ketidakjelasan dalam penerapan Pasal 69 ayat (2) UUPPLH tentang kearifan lokal dalam membuka lahan dengan cara membakar. Dengan menganalisis pertimbangan Hakim dalam perkara yang diputus pada periode 2010-2020 dan dipadukan dengan wawancara serta studi dokumen, penelitian ini mencoba mengklarifikasi perdebatan atau perbedaan penerapan tersebut serta posisinya dalam sistem hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan bahwa, terdapat Hakim yang menjadikan kearifan lokal sebagai dasar membebaskan terdakwa dan ada pula yang menjadikannya sebagai keadaan yang meringankan hukuman. Lebih lanjut, ketentuan yang seharusnya hanya mengikat pada pasal 69 ayat (1) huruf h UUPPLH justru ikut digunakan dalam dakwaan selain pasal tersebut. Perbedaan penerapan kearifan lokal dalam pengadilan tersebut terjadi karena tidak adanya penjelasan lebih lanjut tentang maksud dari memperhatikan kearifan lokal di daerah masing-masing sehingga, dalam pengadilan ketentuan Pasal 69 ayat (2) UUPPLH ditafsirkan berbeda-beda oleh Hakim. Selain itu, ketentuan pasal 69 ayat (2) UUPPLH sebenarnya lebih tepat diposisikan sebagai alasan penghapus pidana dalam konteks tidak adanya sifat melawan hukum materiil. Namun, agar dapat diterapkan secara seragam dalam pengadilan, kearifan lokal dalam membuka lahan dengan cara membakar seharusnya dijadikan sebagai alasan penghapus pidana yang berlaku secara umum. Oleh karena itu, kearifan lokal tersebut seharusnya diubah agar sejalan dengan RKUHP agar nantinya dapat berlaku secara umum, sebagai bentuk pengakuan atas hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat.
- ItemKedudukan dan Keabsahan Hasil Pemeriksaan Poligraf dalam Sistem Pembuktian Pidana di Indonesia: Tinjauan Prinsip Peradilan yang Adil (Fair Trial)(STHI Jentera, 2019-08-16) Lovina; Anugerah Rizki Akbari; Miko Susanto GintingSkripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, bagaimana kedudukan hasil pemeriksaan poligraf berdasarkan sistem pembuktian pidana di Indonesia? Kedua, bagaimana keabsahan hasil pemeriksaan poligraf ditinjau dari prinsip peradilan yang adil? Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan serta keabsahan hasil pemeriksaan poligraf berdasarkan sistem pembuktian pidana di Indonesia, ditinjau dari prinsip peradilan yang adil. Skripsi ini berkesimpulan bahwa kedudukan hasil pemeriksaan poligraf dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia adalah sebagai barang bukti, yang kemudian dapat dikategorikan menjadi alat bukti surat, keterangan ahli, atau petunjuk. Di samping soal kedudukan, hal lain yang tak boleh luput ketika membahas hasil pemeriksaan poligraf adalah keabsahannya sebagai bukti ilmiah sehingga bisa digunakan di pengadilan. Hingga saat ini, pemeriksaan poligraf di Indonesia masih bergantung pada kualifikasi dan keahlian pemeriksanya yang belum memiliki standar. Selain itu, prosedur dan teknik pemeriksaan poligraf mengandalkan perubahan reaksi tubuh maupun jawaban dari orang yang diperiksa, sehingga sudah sepatutnya penegak hukum dan hakim menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang adil, antara lain pemeriksaan dilakukan secara sukarela, mendapat persetujuan dari orang yang diperiksa, pemeriksaan didampingi oleh penasihat hukum, dan orang yang diperiksa memberikan keterangan secara bebas, serta mendapatkan informasi utuh mengenai prosedur, teknik pemeriksaan, maupun segala dampak yang mungkin timbul dari pemeriksaan tersebut terhadap dirinya, sebagai landasan utama ketika mempertimbangkan hasil pemeriksaan poligraf sebagai bukti ilmiah di persidangan. Jika prinsip-prinsip tersebut tidak diterapkan, maka hasil pemeriksaan poligraf tersebut menjadi tidak sah dan tidak punya nilai pembuktian di persidangan.
- ItemKesenjangan dan Tantangan Penegakan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang: Studi Kasus Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara(STHI Jentera, 2021-08-05) Muhammad Ad’har Nasir; Putri Kusuma Amanda; Anugerah Rizki AkbariPenelitian ini akan melihat pola dan modus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di wilayah transit Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Selain itu penelitian ini juga akan membahas tentang penegakan kasus dan penanganan korban TPPO yang ada di Kabupaten Nunukan berkaca pada peraturan perundang-undangan yang relevan. Dan terakhir penelitian ini membahas seputar penyebab-penyebab terjadinya ketimpangan antara kasus-kasus TPPO di Kabupaten Nunukan yang diselesaikan hingga tahap pengadilan dan kasus-kasus yang tidak diselesaikan hingga tahap pengadilan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara langsung dengan korban, aparat penegak hukum khususnya Kepolisian, Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, dan Unit BP2MI Kabupaten Nunukan. Analisis yang dilakukan sampai pada kesimpulan bahwa ditemukan pola dan modus ‘baru’ yaitu korban asal Samarinda, Kalimantan Timur, selain pola dan modus tradisional dengan korban asal Sulawesi Selatan. Adapun penegakan kasus dan penanganan korban TPPO masih mengalami banyak kekurangan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan penyebab-penyebab dari banyaknya kasus yang tidak diproses hingga ke pengadilan adalah terkait dengan tumpang tindih konsep TPPO dengan tindak pidana lain, kesenjangan persepsi konsep TPPO aparat penegak hukum dan pendamping korban, 3 (tiga) tantangan/hambatan yang dialami Kepolisian, perbedaan yurisdiksi Indonesia – Malaysia, dan terhambatnya akses bantuan hukum dan advokasi bagi saksi dan/atau korban TPPO.
- ItemMeninjau Pemaknaan Petty Offences dalam Hukum Pidana: Evaluasi terhadap Pengaturan Tindak Pidana Ringan di Indonesia(STHI Jentera, 2020-08-28) Kiki Marini Situmorang; Anugerah Rizki Akbari; Putri Kusuma AmandaSkripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, bagaimana perkembangan perkembangan pemahaman dan pengaturan mengenai tipiring dalam hukum pidana? Kedua, bagaimana kesesuaian pemahaman dan pengaturan yang berkembang saat ini dengan pengaturan yang ada di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dan dipadu dengan wawancara, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep tipiring berkembang dalam hukum pidana dan mengetahui kesesuaiannya dalam pengaturan tipiring di Indonesia. Hasil temuan dari penelusuran peraturan perundang-undangan, studi literatur dan juga wawancara tersebut akan dibahas secara kualitatif dan disajikan dengan cara deskriptif. Jadi, mengambil inti sari dari berbagai pengaturan di Amerika, Inggris, Perancis, dan Belanda dan menjadinya sebagai simpulan karakteristik umum. Kemudian, karakteristik-karakteristik umum yang ditemukan akan diperhadapkan dengan yang dimiliki oleh Indonesia, serta melihat praktik dan perkembangan hukum pidana dalam RKUHP dan RKUHAP. Skripsi ini mengambil simpulan bahwa secara garis besar, pengaturan tipiring di Indonesia sudah sesuai dengan beberapa karakteristik yang ditemukan juga di negara-negara lain. Akan tetapi, ada beberapa hal dalam di dalam perkembangan dan praktik yang terjadi dan membuat pengaturan dari tipiring tersebut menjadi tidak berjalan dengan baik. Hal tersebut berkaitan dengan memperjelas kedudukan tipiring, meninjau ulang tindak pidana apa saja yang dapat masuk ke dalam tipiring, penyesuaian nilai rupiah, serta memaksimalkan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan untuk menyaring dan menyederhanakan perkara tipiring.
- ItemMenyoal Penanganan Perkara Korupsi Pasca Perjanjian Kerja Sama Antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan, dan Kepolisian(STHI Jentera, 2021-08-22) Rizki Zakariya; Anugerah Rizki AkbariPKS antara APIP dan APH diharapkan menjadi solusi atas permasalahan penanganan perkara korupsi di Indonesia, khususnya terhadap korupsi kerugian keuangan negara. Akan tetapi, pada pelaksanaannya PKS tersebut memiliki berbagai permasalahan yang berdampak pada tidak selesainya masalah dan justru menambah persoalan baru. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan studi literatur, analisis putusan, dan wawancara. Hasil penelitian ini terdiri atas 2 (dua) hal. Pertama, alasan mengapa PKS muncul dalam pemberantasan korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah disebabkan adanya pergeseran makna korupsi kerugian keuangan negara di Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, biaya penanganan perkara korupsi tidak sebanding dengan pengembalian kerugian negara, tindak lanjut Pasal 385 UU Pemerintahan Daerah, tidak optimalnya PP 12/2017, dan mengetahui batasan jelas administrasi atau pidana. Kedua, PKS dalam mencapai tujuan pemberantasan korupsi memiliki beberapa permasalahan, seperti review yang tidak berjalan, terbatasnya kualitas dan kuantitas SDM, pengaturan batasan waktu yang tidak jelas, dan rentannya konflik kepentingan dengan adanya PKS. Pada praperadilan, hakim memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai PKS, ada yang menerima, menolak, bahkan tidak mempertimbangkan. Hal itu mempengaruhi tidak tercapainya tujuan pemberantasan korupsi, yakni pengembalian kerugian keuangan negara, dan pemidanaan itu sendiri. Kata Kunci: Korupsi, PKS, Kerugian Keuangan Negara, APIP, APH.
- ItemPenentuan Ancaman Pidana dalam Tindak Pidana Perkosaan dan Perbuatan yang Menyerang Kehormatan Kesusilaan Beserta Perbuatan Turunannya dalam KUHP, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Perlindungan Anak(STHI Jentera, 2020-08-28) Siti Rahayu; Anugerah Rizki Akbari; Miko Susanto GintingProduksi ketentuan pidana di dalam undang-undang di luar KUHP semakin marak terjadi, khsusunya pasca reformasi. Salah satu ketentuan pidana yang diatur kembali di luar KUHP adalah mengenai tindak pidana perkosaan dan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan. Undang-undang yang mengatur kembali dua jenis tindak pidana tersebut di antaranya UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak. Meskipun tidak mengatur rumusan yang sama persis dengan di KUHP, akan tetapi pada hakikatnya kedua undang-undang tersebut mengatur perbuatan inti yang serupa dengan KUHP. Di sisi lain, produksi ketentuan pidana berlebih di luar KUHP pada akhirnya memicu ketidakteraturan ancaman pidana. Hal ini karena KUHP tidak selalu dijadikan acuan selama proses penyusunan undang-undang terkait. Padahal di dalam lampiran UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah disyaratkan jika penyusunan ketentuan pidana wajib mengacu pada KUHP. Sayangnya ketentuan di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sendiri tidak secara lengkap mengatur mengenai pembentukan ketentuan pidana. Ketiadaan panduan penyusunan ketentuan pidana ini pada akhirnya membuat semakin banyak ketidakteraturan ancaman pidana ini. Bahkan untuk tindak pidana serupa, khususnya tindak pidana perkosaan dan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan nyatanya memiliki struktur ancaman pidana yang berbeda dengan KUHP. Di dalam KUHP, ancaman pidana bagi tindak pidana perkosaan dan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan disusun dengan struktur ancaman pidana tunggal dan hanya ancaman pidana penjara selama waktu tertentu. Sementara di dalam UU PKDRT ancaman pidana diancamkan dengan struktur ancaman pidana alternatif pidana penjara atau pidana denda. Lalu di dalam UU Perlindungan Anak ancaman pidana disusun secara kumulatif pidana penjara dan pidana denda.
- ItemPenerapan Pidana Tambahan Berupa Perbaikan Akibat Tindak Pidana dalam Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH) oleh Hakim dan Jaksa(STHI Jentera, 2020-08-28) Debby Thalita Nabila Putri; Anugerah Rizki Akbari; Putri Kusuma AmandaPenelitian ini pada dasarnya akan membahas mengenai dua hal, pertama mengetahui bagaimana dasar pertimbangan penegak hukum dalam menggunakan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana pada perkara tindak pidana lingkungan hidup. Kedua, melihat bagaimana dinamika pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana dilakukan. Dalam perkembangannya, penelitian ini menggunakan putusan-putusan pengadilan, peraturan-peraturan terkait, penelusuran bahan bacaan, dan hasil wawancara. Kemudian terhadap temuan tersebut dianalisis menggunakan konsep perbaikan akibat tindak pidana dan prinsip-prinsip eksekusi dalam hukum pidana. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidakjelasan dalam membedakan dan memposisikan bentuk dari sanksi pidana tambahan dan tindakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya, penelitian ini juga menunjukkan bahwa adanya perbedaan pemahaman antar penegak hukum dalam memaknai perbaikan akibat tindak pidana. Tidak hanya itu, adanya kekosongan hukum untuk melakukan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana menjadi faktor penghambat terlaksananya eksekusi putusan sampai saat ini.
- ItemPenggunaan Senjata Api Oleh Kepolisian Sebagai Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Di Indonesia: Sebuah Tinjauan dari Due Process of Law(STHI Jentera, 2019-08-22) Ahmad Budi Santoso; Anugerah Rizki Akbari; Miko GintingTulisan ini melihat hukum yang berlaku mengenai penggunaan senjata api oleh kepolisian baik nasional maupun internasional. Terutama terkait adanya kesenjangan antara pengaturan di level nasional dengan yang berkembang di level internasional. Selain itu, riset ini juga melihat bagaimana Pengadilan HAM Eropa dan InterAmerika memutus kasus penggunaan senjata api yang diduga sewenang-wenang oleh kepolisian, salah satunya dengan melihat pertimbangan hakim pada putusan Kelly dan yang lain melawan The United Kingdom serta putusan Dozerma melawan Republik Dominika. Kedua putusan itu digunakan sebagai konteks untuk penyempurnaan PERKAP Nomor 1 Tahun 2009 dari praktik terbaik yang ditunjukkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dan Inter-Amerika. Analisis yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan antara instrumen internasional dan PERKAP Nomor 1 Tahun 2009 terutama dalam penerapan prinsip penggunaan senjata api. Prinsip itu tidak diterapkan dengan begitu baik dalam PERKAP sehingga menimbulkan kesenjangan yang signifikan. Selain itu, setelah melihat dari pertimbangan hakim terkait kasus penggunaan senjata api oleh kepolisian, ditemukan bahwa kasus penggunaan senjata api ini begitu penting untuk diperiksa di pengadilan karena sifat dari penggunaannya dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Kedua putusan itu juga dapat dijadikan rujukan dalam penyempurnaan pengaturan penggunaan senjata pada PERKAP Nomor 1 Tahun 2009.
- ItemPerlindungan dan Pemenuhan Hak Korban Image Based Sexual Abuse (IBSA): Analisis Regulasi dan Praktik Penegakan Hukum di Indonesia(STHI Jentera, 2020-08-28) Johanna G. S. D. Poerba; Anugerah Rizki Akbari; Putri Kusuma AmandaPenelitian ini akan membahas mengenai kesenjangan perlindungan dan pemenuhan hak korban IBSA berdasarkan regulasi dan praktik perlindungan korban di Indonesia dengan merujuk pada regulasi dan praktik di negara lain maupun standar internasional lainnya. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur dan juga wawancara baik korban maupun pendamping hukum korban. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa bahwa masih terdapat kesenjangan baik dalam peraturan maupun dalam praktik perlindungan korban di Indonesia dengan negara lain. Dari segi regulasi, UU ITE dan UU Pornografi masih membuka peluang kriminalisasi korban IBSA karena permasalahan definisi dan perumusan konsep persetujuan. Namun, terdapat juga UU Perlindungan Saksi dan Korban yang secara substansi sudah berpihak kepada korban IBSA. Sedangkan dari segi praktik perlindungan korban, Indonesia masih menghadapi permasalahan yang serupa dengan negara lain yakni kurangnya SDM di bidang digital forensic, ketersediaan infrastruktur yang dibutuhkan, dan persoalan perspektif masyarakat terhadap korban IBSA. Perbaikan regulasi, peningkatan kapasitas SDM, infrastruktur, sekaligus juga pembaruan hukum acara pidana menjadi beberapa hal yang krusial untuk dilakukan agar dapat menanggulangi kasus IBSA di Indonesia.
- ItemPermufakatan Jahat Pada Tindak Pidana di Bidang Narkotika dan Relevansinya dengan Pertanggungjawaban Pidana serta Sistem Pembuktian di Indonesia: (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 744/Pid.Sus/2018/Pn.Jkt.Utr dengan Terdakwa Sadikin Arifin)(STHI Jentera, 2019-08-05) Rizki Dermawan; Anugerah Rizki Akbari; Miko Susanto GintingSkripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, mengenai kesesuaian pertimbangan majelis hakim dalam kasus Sadikin Arifin dengan teori kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Kedua, mengenai kesesuaian pembuktian pada perkara Sadikin Arifin dengan teori pembuktian yang berlaku di Indonesia yang mengacu pada Pasal 183 KUHAP. Kedua permasalahan tersebut akan dianalisis dengan metode penelitian kepustakaan. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan suatu kritik atas praktik yang terjadi dalam penyelesaian kasus permufakatan jahat dalam kejahatan narkotika. Parameter pembuktian yang terjadi dalam kasus Sadikin Arifin dapat dijadikan standar untuk melihat praktik pembuktian dalam membuktikan permufakatan jahat pada kejahatan narkotika yang terjadi selama ini. Skripsi ini berkesimpulan bahwa pembuktian yang terjadi dalam kasus Sadikin Arifin tidak sesuai dengan amanah yang telah digariskan oleh Pasal 183 KUHAP dan pertimbangan majelis hakim dalam membuktikan tindak pidana permufakatan jahat tidak sesuai dengan teori dan doktrin hukum pidana. Oleh karena itu, Sadikin Arifin tidak layak untuk dimintai pertanggungjawaban pidana, dengan konsekuensi bahwa Sadikin Arifin harus bebas dari semua tuntutan hukum.
- ItemTinjauan Keabsahan dan Kompatibilitas Penerapan Konsep Keadilan Restoratif sebagai Mekanisme Penyelesaian Perkara yang Diatur dalam Aturan Internal Lembaga Penegak Hukum(STHI Jentera, 2022-08-16) Aisyah Assyifa; Asfinawati; Anugerah Rizki AkbariRencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024) memuat isu strategis penegakan hukum nasional yang berupaya untuk memperkuat dan memperbaiki dimensi pembangunan sistem peradilan, dengan menggunakan pendekatan konsep keadilan restoratif. Saat ini, konsep keadilan restoratif belum diatur dalam norma umum di Indonesia. Telah dibentuk sejumlah peraturan internal lembaga penegak hukum yang menerapkan keadilan restoratif dalam pembentukan mekanisme penghentian perkara, namun masih mengalami hambatan dalam praktiknya karena perbedaan dasar hukum yang digunakan. Ketiadaan dasar hukum berpengaruh pada proses taraf sinkronisasi proses penegakan hukum dan koordinasi antar aparat penegak hukum dalam suatu rangkaian sistem peradilan pidana. Dengan demikian, perlu untuk mendorong revisi KUHAP untuk memberikan dasar hukum bagi penerapan keadilan restoratif, atau menyusun norma umum yang dapat digunakan sebagai dasar penerapan keadilan restoratif. Kata Kunci: Keadilan Restoratif, Penghentian Perkara, Lembaga Penegak Hukum
- ItemTinjauan Kesenjangan antara Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia dengan Standar Internasional: Kritik terhadap Konsep, Pengaturan, dan Praktik Diversi di Indonesia(STHI Jentera, 2020-08-28) Fatimah Huurin Jannah; Putri Kusuma Amanda; Anugerah Rizki AkbariDiversi adalah upaya pengalihan anak dari sistem peradilan pidana. Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk menyelesaikan perkara pidana dengan melibatkan sebanyak mungkin orang yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi dan berupaya mencari jalan keluar bersama-sama untuk memulihkan keadaan yang rusak akibat dari tindak pidana yang terjadi. Diversi dapat dilakukan tidak hanya dengan pendekatan keadilan restoratif melainkan dapat berupa ‘tidak direspon sama sekali’ atau peringatan sederhana. Ada empat elemen penting dalam penerapan diversi, consent, kemampuan APH, syarat diversi, dan program diversi. Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan kesenjangan konsep, standar pengaturan, dan praktik diversi pada sistem peradilan pidana anak yang berkembang di Internasional dengan yang berkembang di Indonesia. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi studi literatur, wawancara, analisis peraturan, dan analisis kesenjangan sederhana dalam melihat dan menemukan kesenjangan konsep, pengaturan, dan praktik diversi di Indonesia dengan yang berkembang di Internasional termasuk konsep, pengaturan, dan praktik diversi di Selandia Baru dan Afrika Selatan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa indonesia belum memiliki pengaturan terkait consent, banyak APH yang belum memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menagani kasus anak termasuk dalam menangani diversi, UU SPPA tidak mengatur secara jelas dan pasti soal syarat diversi apabila anak sekaligus melakukan tindak pidana yang ancamannya di bawah dan di atas 7 tahun, dan