Daniel S. Lev Law Library
Permanent URI for this community
Browse
Browsing Daniel S. Lev Law Library by Issue Date
Now showing 1 - 20 of 67
Results Per Page
Sort Options
- ItemSemua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2000-07) Bivitri Susanti; Aria Suyudi; Bani Pamungkas; Binziad Kadafi; Erni Setyowati; Eryanto Nugroho; Irfan R. Hutagalung; Mustafa Fakhri; Rival G. Ahmad; Sony Maulana SikumbangStudi ini memfokuskan kajiannya pada upaya untuk mereposisi tiga lembaga negara MPR, DPR, dan jabatan presiden dalam UUD 1945 berikut susunan, kewenangan, kekuasaan, sistem pemilihan, dan aspek-aspek lain yang terkait. Ada beberapa isu sentral dalam pembahasan ketiga lembaga tersebut, yang terkait dengan keberadaannya sebagai cabang kekuasaan negara. Pertama, bagaimana kekuasaan dari masing-masing lembaga tersebut serta wewenangnya yang diimplementasikan melalui berbagai prosedur kenagaraan serta elemen-elemen penyelenggaraan kekuasaan tersebut efektif dan dianggap memadai dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Kedua, yaitu masalah-masalah yang terkait dengan pengisian jabatan kekuasaan tersebut. Ketiga, bagaimana relasi antar lembaga-lembaga tersebut dalam penyelenggaraan kekuasaannya. Ketiga isu inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam studi ini.
- ItemHak Anda dan Pelayanan Publik di Bidang Tanah dan Bangunan(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2002) Bani Pamungkas; Dian Sesrina Jaya; Redynal SaatBuku ini berisi informasi mengenai prosedur yang terkait dengan pelayanan publik di bidang pertanahan dan bangunan. Fokus yang menjadi pembahasan dalam buku ini adalah bagaimana masyarakat mengurus sertifikat tanah dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Berbagai tips yang ada di dalamnya diharapkan membantu masyarakat memahami kerumitan pelayanan publik dan memupus habis praktik korupsi. Daftar Isi berisi: 1. Apakah setiap orang dapat memiliki tanah? 2. Sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah yang kuat 3. Bagaimana cara mendapatkan sertifikat 4. Membangun bangunan rumah tinggal di Jakarta
- ItemHukum dan Pemaknaannya Menurut Pengalaman Kebahasaan Para Penggunanya: Sebuah Pengantar ke Arah 'Kajian Hukum dengan Pendekatan Semiotik'(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002) Soetandyo WignjosoebrotoAnalisis dari perspektif semiotik merupakan salah satu contoh realisme dalam pemikiran dan analisis hukum, baik pada tataran paradigmatik-teoritik maupun pada tataran produk legislatif dan kasus-kasus di sidang-sidang pengadilan. Analisis-analisis semiotik diprakarsai oleh para realis yang memulai aktivitasnya dalam bentuk gerakan-gerakan sosial politik pembaharuan tatanan sosial dan hukum. Kemudian para realis juga melakukan gerakan yang bersifat akademik dengan melakukan dekonstruksi-rekonstruksi paham dan teori dalam percaturan ilmu hukum. Di Indonesia, sekali pun seruan untuk melakukan reformasi hukum amat kuat dan terlalu sering dikumandangkan, tetapi hasil akhirnya tetap tak terlihat. Sebab upaya perubahan hukum hanya berlangsung sebatas pada norma perundang-undangan positif belaka. Pembaharuan tidak pernah menukik pada upaya dekonstruksi dan rekonstruksi seluruh sistem hukum nasional berdasarkan paradigma-paradigma baru yang nonpositivistik dan nondoktrinal. Pembaharuan hukum yang dikerjakan atas dasar doktrin klasik kaum positivis, pada dasarnya juga beraliran liberal, dimana lebih mengacu pada kepastian hukum undang-undang ketimbang memanfaatkan segala amar putusan hukum untuk kemaslahatan umum. Pembaharuan macam ini tidak akan berhasil mentrasnformasikan konfigurasi dan fungsi hukum yang baru sebagai suatu pranata yang fasilitatif bagi kemaslahatan massa awam.
- ItemJentera Jurnal Hukum Bahasa Hukum Edisi 1 2002(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2002) Soetandyo Wignyosoebroto; Anom Surya Putra; Rizal Mutansyir; Gregory Churchill; Kurniawan; B. Arief Sidharta; Marsillam Simanjuntak; Irma Hidayana; Agus PriyantoEdisi perdana Jentera ditujukan untuk menyediakan media bagi penelitian, penulisan dan pertukaran ide hukum. Jurnal Jentera ingin memberi substansi dalam pembahasan solusi yang terukur, rasional, ilmiah tapi tidak teoritis. Edisi ini mengangkat tema mengenai bahasa yang merupakan salah satu sarana utama penegakan hukum dan kepastian hukum. Jika ditelisik, sebenarnya kritik yang berkembang atas hukum dan penegakannya berhubungan erat dengan bahasa. Misalnya penggunaan bahasa yang rumit, kalimat yang panjang, struktur gramatikal yang buruk, dan terminologi yang tidak ketat. Akibatnya ketentuan hukum sulit dimengerti masyarakat, bahkan oleh penegak hukum. Kritik lainnya berkenaan dengan penyusunan (drafting) ketentuan hukum yang ditengarai sebagai penyebab timbulnya multitafsir atas ketentuan hukum.
- ItemJentera: Jurnal Hukum Edisi 2 Tahun 2003 Hukum dan Yayasan(STH Indonesia Jentera, 2003) Zaim Saidi; Hamid Abidin; Danang Widoyoko; Ibrahim Assegaf; Eryanto Nugroho; Afrizal Tjoetra; Satjipto Rahardjo; Soetandyo Wignyosoebroto; Bivitri Susanti; Rival g. Ahmad; Sebastiaan Pompe; SuhendraEdisi ini diawali dengan tulisan Zaim Zaidi dan Hamid Abidin yang mengetengahkan pemahaman dasar organisasi sosial, terutama gerakan filantropi. Tulisan ini ibarat caraka bagi pembaca yang mencoba menjelaskan secara rinci asal-muasal gerakan filantropi dan perkembangannya di Indonesia, serta bagaimana keberadaannya di negara lain. Bukan hanya secara historis tetapi juga menggambarkan bagaimana hukum di negara setempat mengaturnya. Ini dijelaskan sesuai dengan konsep hukum yang berlaku di masing-masing negara, termasuk bagaimana kebijakan hukum Indonesia mengakomodir kepentingan organisasi nirlaba macam yayasan. Setelah memahami pengertian organisasi sosial dengan berbagai bentuknya, Ibrahim Assegaf dan Eryanto Nugroho pada tulisan berikutnya mengerucutkan bahasannya hanya dalam dua kerangka: menguliti sisi akuntabilitas clan dalam kacamata bisnis (fundrising). Dengan menggunakan pijakan yang sama, Danang Widoyoko mengisi bagian tulisan yang mengangkat ihwal bisnis yang dilakukan oleh yayasan militer, yayasan yang notabene didirikan oleh pemerintah. Bagaimana hukum melegalkan bisnis di tubuh militer bisa dilihat melalui beberapa produk hukum dengan pasal-pasal karetnya. Sementara itu, kami juga menghimpun beberapa pendapat BPK clan Koalisi Ornop untuk RUU Yayasan dalam satu rangkaian wawancara. Kritik terhadap pemerintah dalam proses penyusunan undang-undang juga dilayangkan melalui tulisan Rival G. Ahmad dkk yang mengangkat usulan penyusunan kebijakan yang partisipatif Tulisan ini kemudian didukung dengan pengulasan buku teori negara hukum dan demokratis modern karya filsuf Jerman,Jurgen Habermas. Dengan demikian, Habermas hadir sebagai rujukan atas teori negara hukurn clan demokratsi, sedangkan problema kebijakan partisipatif di Indonesia menjadi fakta atas kesilang-sengkarutan hukum dan demokrasi di tengah era modern. Selebihnya, kami juga menghadirkan wacana lain seperti gagasan neo liberalisme clan sosialisme yang terdapat dalam pasal ekonomi UUD 1945, perihal Judicial "Liability dan informasi tentang perkembangan pembahasan UU Politik, RUU Pemilu serta beberapa usulan RUU Pengadilan dan Kejaksaan.
- ItemJentera Jurnal Hukum Privatisasi Edisi 3 Tahun 2003(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2003-01-01) Eko Prasetyo; Yanuar Nugroho; Revrisond Baswir; A. Patra M. Zen; Uli Parulian Sihombing; Sri Mulyani Indrawati; Asep SaefullahMengapa privatisasi? Bicara privatisasi bukan hanya bicara kontroversi seputar kasus-kasus yang mengemuka belakangan ini seperti kasus Indosat. Pelacakan justru mesti dilakukan sejak awal ide privatisasi muncul. Bagaimana ide ini lahir dari evolusi pemikiran soai negara dan ekonomi hingga menjadi salah satu trend dalam perbaikan ekonomi negara-negara dunia ketiga. Kalau banyak terbitan lain mengupas privatisasi dari aspek hukum maupun politiknya, JENTERA edisi ketiga ini mengajak pembaca untuk mencermati dampak privatisasi bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana masyarakat luas yang tidak punya akses ekonomi, politik, informasi, dan pendidikan terkena dampak jangka panjang dari privatisasi. Tentunya tidak berhenti di situ. Neraca opini dicoba untuk diseimbangkan dengan memberikan warna soal dampak positif privatisasi bagi perekonomian Indonesia. Soalnya memang ideologis hingga hampir bisa dipastikan tidak akan ada jalan tengah, kecuali soal prosedural yang menyangkut kehati-hatian dalam memilih jalan menuju privatisasi.
- ItemJentera Jurnal Hukum Rule of Law Edisi 3 Tahun II November 2004(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2004-11-01) Saldi Isra; B. Arief Sudharta; Soetandyo Wignyosoebroto; Marjanne Thermorshuizen-Artz; Dadang Trisasongko; Daniel S. LevPada edisi ini, kami ingin mengajak pembaca untuk mengangkat clan menggali kembali pemikiran mendasar tentang negara hukum Indonesia dalam kerangka pembaruan hukum. Tema ini perlu kami angkat karena beberapa alasan. Pertama, sejak krisis ekonomi 1997, pemerintah clan masyarakat Indonesia secara lebih intensif dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa banyak peristiwa-peristiwa hukum yang bersentuhan dengan masalah legitimasi dan eksistensi bangsa. Sebut saja konflik dan pergolakan yang muncul di beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keinginan beberapa wilayah untuk memisahkan diri dari NKRI, menjadi cukup alasan untuk kembali menggali konsep dasar negara. Berikutnya, dilakukannya empat kali amandemen UUD 1945 yang menjadi titik tolak utama dalam mencari formasi yang paling tepat terhadap fungsi dan kedudukan lembaga-lembaga negara. Perubahan signifikan ini seyogyanya diikuti dengan perombakan kehidupan bernegara dan kehidupan hukum secara fundamental. Namun, lagi-lagi masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa penegakan hukl.lffi hanya berjalan di tempat. Hukum justru bergantung pada kekuasaan. Berkaitan dengan hal ini, maka perlu dipikirkan kembali secara mendalam makna dari "negara (berdasarkan pada) hukum (rechtstaal) clan bukan kekuasaan (machtstaal)" seperti yang dicita-citakan . Konstitusi. Selain itu, menggali pemahaman kita tentang negara hukum Indonesia yang cocok bagi masyarakat Indonesia sekaligus menghindari transfer konsep-konsep asing yang dianggap mirip clan menanamkannya ke dalam bumi Indonesia.
- ItemJentera: Jurnal Hukum Edisi 8 Tahun III Maret 2005 Negara dan Kekuasaan(2005-03-01) Agus Wahyudi; Teten Masduki; Danang Widoyoko; Frank Feulner; Daniel S. Lev; Ronald Rofiandri; Farli Elnumeri; Fendry Ponomban
- ItemJentera: Jurnal Hukum Edisi 10 Tahun III Oktober 2005 Legislasi(STH Indonesia Jentera, 2005-10) Andang L. Binawan; Sony Maulana S; Luky Djani; Muhammad Yasin; Tri Ratnawati; Robert Endi Djaweng; Lukman Hakim Saefuddin; Rikardo Simarmata; Dian Noeswantari; Imam Koeswahyono; Daniel Hutagalung; Zainal Abidin; Ratna BataramuntiSebagai bagian dari fungsi parlemen, legislasi layak untuk mendapatkan perhatian. Di sana sarat dengan pertarungan ideologi atau kepentingan ekonomi maupun politik. Semua sumberdaya dikerahkan partai politik atau pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat memenangkan pertarungan di aras legislasi ini, meski kita tahu legislasi sebenarnya tak sesempit ini. Legislasi menghasilkan hukum dalam arti perundang-undangan. Andang Binawan dalam tulisannya, menguraikan ciri-ciri hakiki hukum, mulai dari ciri relasional hukum yang bermakna ganda: relasi antarmanusia sekaligus menyatukannya. Inilah, menurut Andang, sebagai raison d' etre kenapa hukum itu mutlak diperlukan. Di samping itu, ciri relasional ini, masih menurut Andang, menghasilkan turunan dua ciri selanjutnya: minimal clan kompromis. Sampai di sini, artikulasi pertarungan kepentingan dalam aras legislasi itu terjadi. Tri Ratnawati bersama Robert Endi Jaweng dalam tulisannya menganalisa kemungkinan adanya kepentingan ekonomipolitik tertentu di balik pengesahan undang-undang pemekaran wilayah sejak tahun 1998 hingga 2004. Salah satu contoh yang dikemukakan kedua peneliti ini adalah pemekaran Papua yang diduga untuk memecah suara Golongan Karya oleh Megawati yang berasal dari PDI Perjuangan. Produk legislasi di bidang pemekaran wilayah macam ini, memang mendominasi daftar pengesahan rancangan undang-undang di parlemen. Ratnawati clan Endi Jaweng menyebutnya sebagai 'decentralization boom'. Keduanya membagi pengesahan rancangan-yang tentunya berimplikasi pada pemekaran wilayah-dalam empat tahapan berdasar waktu. Hal semacam ini tentu mengundang pertanyaan tersendiri. Sony Maulana, dosen Ilmu Perundang-Undangan, mengajukan pertanyaan filosofis di awal tulisannya. Sebenarnya anggota dewan kita itu cenderung hanya sebagai agen atau wali amanat? Sebagai agen atau perantara, tulis Sony, anggota dewan hanya perlu persuasi para pendukung mereka yang biasanya memanfaatkan praduga kesukuan, latarbelakang daerah, kesamaan agama. Sedanguntuk jadi wali amanat, anggota dewan perlu berargumentasi berdasar fakta dan logika. Inilah, menurut Sony, yang jadi inti pertarungan kepentingan dalam legislasi. Ada perspektif lain yang ditawarkan Luky Djani untuk melihat 'sehat' tidaknya legislasi. Dia mengamati dari sisi efektivitas-biaya, dengan asumsi bahwa produk legislasi juga dipengaruhi oleh elemenelemen dalam prosesnya. Tak terkecuali dari sisi biaya. Tulisan Luky ini diteruskan dengan sebuah penelusuran agak mendalam oleh Muhammad Yasin, wartawan situs hukumonline.com. Yasin mengambil contoh dua undang-undang clan satu rancangan yang dalam proses pembahasannya diduga terjadi politik uang atau suap. Yasin juga mengutip antisipasi hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang berbau suap. Dalam edisi ini, kami menurunkan dua wawancara tentang kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yakni dengan I Wayan Sudirta, anggota DPD dari Bali clan Lukman Hakim Saefuddin dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Mereka beradu argumentasi dengan background kepentingan masing-masing. Kami tempatkan wawancara keduanya dalam rubrik 'Forum'. Jentera edisi ini memberikan 'kejutan' bagi para pembaca. Mulai edisi ini, kami menampilkan sebuah rubrik bernama 'Jejak'. Edisi perdana rubrik ini diisi oleh Daniel Hutagalung yang mengulas tentang pemikiran Mr. Soepomo tentang negara Indonesia. Dengan segenap aktivitas dan pemikirannya semasa hidup, Mr. Soepomo, dianggap sebagai arsitek utama perancang Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen. Cirinya fasistik. Daniel Hutagalung dalam tulisannya dengan seabrek penelusuran literatur, menyatakan bahwa memang 'Negara Orde Baru' adalah penjelmaan yang paling 'mendekati' gagasan negara menurut Soepomo. Tak hanya itu. Daniel juga memaparkan sejumlah dislokasi pada diri Soepomo, dan menutupnya dengan konteks kekinian. Kami kira tulisan ini perlu mendapat apresiasi tersendiri. Di rubrik 'Kisi' ada tulisan Rikardo Simarmata, dosen muda yang konsen pada kajian pluralisme hukum. Tulisannya menguraikan ten tang hukum paskabencana di Aceh. Dia tak sekadar memaparkan masalah hukum yang terjadi, namun juga menjelaskan sejarah keragaman adat di Aceh.
- ItemJentera Jurnal Hukum Peraturan Daerah Edisi 14 Tahun IV Oktober - Desember 2006(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2006-10-10) Syarif Hidayat; P. Agung Pambudhi; Rivandra Royono; Ratno Lukito; Anna Christina Sinaga; Dewi S. Tjakrawinata; Bernadinus SteniPeraturan daerah merupakan jenis aturan dalam hierarki peraturan perundang-undangan kita yang jumlahnya luar biasa dahsyat. Banyak sekali. Departemen dalam negeri sekali pun, saya kira, tidak dapat menentukan secara pasti berapa jumlah peraturan daerah ini sampai sekarang. Maklum semenjak masa desentralisasi awal 2000 lalu, jenis peraturan inilah yang makin mendominasi munculnya aturan di masyarakat daerah. Syarif Hidayat, peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menguraikan dengan sangat menarik soal desentralisasi ini. Lewat tulisannya di awal edisi ini, Syarif Hidayat mengemukakan adanya dua cara pandang berbeda antara kelompok positivis dan relativis dalam melihat desentralisasi.
- ItemJentera Jurnal Hukum Aturan Main Politik Edisi 16 Tahun IV April-Juni 2007(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2007-04-04) T.A Legowo; Antonio Pradjasto; Eryanto Nugroho; Diman K. Simanjuntak; Permadi; Herni Sri Nurbayanti; Veronica; Abdul Rahman; Hendrianto; Supriyadi Widodo Eddyono; Eddy O.S. Hiariej
- ItemJentera Jurnal Hukum Membaca Daniel S. Lev Edisi Khusus(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2008) Robertus Robet; Patra M. Zen; Bambang Widodo Umar; Maria Hartiningsih; Indriaswati Dyah Saptaningrum; Surya Tjandra; August Mellaz; Pipit R. KartawidjajaJentera edisi khusus ini merupakan penghormatan kepada almarhum Daniel S. Lev, Indonesianis yang sangat tajam menganalisis politik maupun sejarah hukum di Indonesia. Pak Dan meninggal karena kanker pada 29 Juli 2006 di Seattle, Amerika Serikat. Untuk mengenang kepergian Pak Dan, diadakan simposium yang mengulas beberapa pemikiran beliau. Edisi ini dibuka dengan cerita Arlene Lev, istri Pak Dan yang narasinya ditulis oleh Herni S. Nurbayanti.
- ItemJentera Jurnal Hukum Lingkungan Edisi 18 Tahun IV Januari - Juni 2008(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2008-01-02) Adriaan Bedner; Maharani Siti Shopia; Gunawan; Dian Abraham; Giri Ahmad Taufik; Bernadinus Steni; E. Fernando M. ManullangDi Indonesia, pengelolaan lingkungan tampaknya menjadi bagian dari tarik-ulur kewenangan antara pusat dan daerah. Desentralisasi politik yang terjadi sepuluh tahun terakhir tidak serta-merta berimplikasi pada desentralisasi di sektor lingkungan, desentralisasi bukanlah subyek yang dominan dalam UU nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Banyak ketentuan yang masih menguatkan peran pemerintah pusat terhadap pengelolaan lingkungan di daerah. Artikel berikutnya, mengulas sejumlah kelemahan aturan sektor lingkungan. Jumlah aturan sektor ini banyak sekali, dan hal ini menimbulkan sejumlah konsekuensi yuridis seperti tumpang-tindih dan disharmoni. Terjadi juga pelanggaran atau eksploitasi alam oleh korporasi, dan isu lingkungan lainnya seperti krisis energi dan kecelakaan radioaktif yang dapat terjadi pada PLTN.
- ItemJentera Jurnal Hukum Advokat Edisi 19 Tahun V April-Juni 2009(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2009-04-04) Mardjono Reksodiputro; Amir Syamsuddin; Frans Hendra Winarta; Abdul Razak Asri; Agus Sardjono; Asfinawati; Herni Sri Nurbayanti; Andhy Martuaraja; Imam NasimaAdvokat, salah satu pilar penegak hukum, tengah mendapat sorotan luas, khususnya di Indonesia. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang mengklaim dirinya sebagai organ tunggal profesi advokat diguncang legitimasi keberadaannya. Sejumlah advokat membuat organisasi tandingan bernama Kongres Advokat Indonesia (KAI). Ada banyak isu yang menjadi pemicu konflik antar advokat ini. Terkait dengan pengaturan organisasi, sebagian pihak berpandangan bahwa advokat tidak perlu diatur melalui undang-undang. Pandangan ini bertolak dari argumen yang menyatakan bahwa di antara penegak hukum, advokat digolongkan sebagai unsur swasta. Advokat, dalam perspektif ini, perlu dibiarkan tumbuh dan berkembang alamiah tanpa ada pengaturan. Yang menjadi alasan utama pandangan ini adalah rasa traumatik atas perlakuan negara terhadap advokat semasa kekuasaan Soeharto. Sehingga, pengaturan advokat bakal membuka peluang intervensi penguasa terhadap profesi mulia ini.
- ItemLaporan Kajian Implementasi Pengawasan Perda oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2011) M. Nur Sholikin; Ronald Rofiandri; Fajri Nursyamsi; Anfodja Mauli P; Simon Butt; Nicholas C. ParsonPemberian kewenangan membuat perda menunjukkan adanya peluang bagi daerah untuk mengatur wilayahnya sendiri demi memajukan dan memberdayakan daerahnya. Namun hingga kini, masih muncul masalah akibat perda. Berbagai pemberitaan dan laporan menyebutkan adanya perda-perda yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Selain itu, Kementerian Dalam Negeri juga telah banyak membatalkan perda bidang retribusi dan pajak daerah yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun begitu, perda menjadi salah satu elemen dasar bagi pelaksanaan desentralisasi. Kewenangan membentuk perda merupakan implementasi dari kemandirian daerah. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan kewenangan daerah dalam membentuk perda. Pengawasan perda diperlukan dalam menjaga kesesuaian peraturan di tingkat lokal dengan peraturan yang berlaku di tingkat nasional. Review juga dipelukan untuk mengontrol agar peraturan yang dibuat tidak melanggar prinsip-prinsip dasar dalam bernegara seperti perlindungan hak asasi manusia. Peraturan perundang-undangan mengatur dua mekanisme review atau pengawasan terhadap peraturan daerah, yaitu executive review dan judicial review. Executive review merupakan kewenangan mengawasi perda yang dimiliki oleh pemerintah (executive power), sementara itu judicial review merupakan kewenangan mengawasi perda yang dimiliki oleh Mahkamah Agung (judicative power). Kedua mekanisme ini dapat berujung pada pembatalan perda. Dalam prakteknya dua mekanisme ini belum dapat berjalan optimal karena dihadapkan pada beberapa permasalahan. Permasalahan dalam lingkup executive review antara lain dipengaruhi oleh regulasi yang mengaturnya. Inkonsistensi antara peraturan di tingkat yang lebih tinggi dengan peraturan di tingkat teknis menyebabkan lemahnya implementasi sistem yang telah dibuat. Seperti pengaturan kewenangan pembatalan, pelibatan pemerintah propinsi dalam mengawasi perda kabupaten/kota, dan koordinasi dan kerjasama antara kementerian yang mempunyai kewenangan terkait perda. Selain regulasi, masalah dalam executive review juga disebabkan oleh inisiatif dari kementerian yang berwenang untuk menjalankan sistem pengawasan secara menyeluruh. Sementara itu, dalam pelaksanaan judicial review permasalahan yang dihadapi antara lain terkait dengan mekanisme yang menyulitkan masyarakat dalam menempuh prosedur untuk mengajukan judicial review perda. Seperti pembatasan waktu pengajuan perda, pembebanan biaya pendaftaran dan penanganan perkara, jangka waktu pemeriksaan dan transparansi dalam pemeriksaan permohonan.
- ItemPenjelasan Hukum tentang Grosse Akte(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2011) Ahmad Fikri Assegaf; Elijana TanzahProyek Restatement ini merupakan upaya untuk menjawab isu ketidakpastian hukum tersebut. Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk mewujudkan suatu gambar yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern. Metode yang digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum: peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif. Tujuan kedua dari proyek ini adalah untuk membangun kembali ‘the legal method’, yaitu sistem penelitian dan diskursus hukum yang riil oleh kalangan universitas, institusi penelitian dan organisasi swadaya masyarakat. Tentunya Restatement ini tidak dimaksudkan sebagai kata terakhir atau tertinggi untuk suatu topik hukum yang dibahas di dalamnya. Namun, Restatement ini bisa memperkaya nuansa hukum Indonesia, terutama karena analisisnya bersandarkan pada putusan pengadilan dan literatur yang berwibawa mulai Indonesia merdeka. Ahli hukum, hakim, dan advokat jelas mempunyai kebebasan untuk menyetujui atau menolak hasil analisis dalam Restatement ini, namun kami berharap supaya Restatement ini bisa mencapai suatu analisis terhadap disiplin hukum tertentu, agar pembahasan tentang topik tersebut mampu menapak suatu tingkatan intelektual yang lebih tinggi. Alasan pemilihan topik grosse akte sebagai salah satu pokok bahasan Restatement adalah terdapatnya kesimpangsiuran terkait grosse akte. Grosse akte mempunyai judul “Demi Ketuhanan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” seperti irah-irah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, namun masih banyak ditemui dalam putusan pengadilan bahwa suatu grosse akte masih harus diajukan ke pengadilan untuk eksekusinya. Kesimpangsiuran seperti ini penting untuk dikaji lebih mendalam.
- ItemJentera Jurnal Hukum Ruang dan Hukum Edisi 21 Tahun VI Januari - April 2011(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2011-01-01) Antonius Cahyadi; Stijn Cornelis van Huis; Hendro Sangkoyo; Dian Rosita; Yance Arizona; Prayekti MurharjantiHukum selalu identik dengan keadilan. Sangat sulit membayangkan bahwa hukwn memiliki tafsir yang berbeda dari itu. Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, keadilan menjadi sesuatu yang problematis karena akan memunculkan pertanyaan "keadilan yang mana" atau "keadilan menurut siapa". Teori komunikasi Jurgen Habermas kemudian memberikan pandangan bahwa hukum yang legitimate adalah yang melalui diskursus atau perdebatan di ruang publik. Atas dasar itulah, Jentera kali ini hadir dengan tema hukum dan ruang. Ruang sering kali menjadi permasalah serius terkait keadilan. Dalam banyak kasus, ruang publik menjadi ruang yang diuasai oleh kaum mayoritas, sedangkan keadilan minoritas seolah menjadi tidak signifikan. Dengan demikian, keadilan acap kali patut dipertanyakan oleh kaum minoritas.
- ItemJentera Jurnal Hukum Perempuan dan Hukum Edisi 22 Tahun VI Januari - April 2012(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2012-01-01) Agus Pratiwi; Pramudya A. Oktavinanda; Hilda Suherman; M. Farid Hanggawa; Adil Surowidjojo; Fajri NursyamsiKesetaraan dan keadilan gender menuntut perubahan sistem dan struktur patriarki yang tercemin di pemerintahan, parlemen, dan penegak hukum. Berbicara tentang hukum, masih banyak orang yang menganggap bahwa hukum harus bersikap netral untuk memberikan keadilan dalam masyarakat. Akan tetapi, justru hal itu ditentang oleh kaum feminis. Netralitas hukum justru tidak menyentuh pengalaman perempuan secara keseluruhan. Identitas perempuan justru dianggap homogen. Donny Danardono menegaskan sekali lagi bahwa "musuh" baru perempuan adalah melakukan homogenisasi terhadap pengalaman dan identitas individual perempuan (Irianto,2006, 26) Hukum merupakan aspek penting dalam kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Adanya hukum yang nondiskriminatif membuat perempuan terlindungi dan menjadi pertanda diakui sebagai warga negara. Terkait hal tersebut, JENTERA edisi 22 ini membahas perempuan dan hukum.
- ItemFondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR 2012(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2013) Rachmad Maulana Firmansyah; Eryanto Nugroho; Fajri Nursyamsi; Giri Ahmad Taufik; Miftah Farid Hanggawan; Miko Susanto Ginting; Muhammad Faiz Aziz; M. Nur Sholikin; Rizky Argama; Ronald Rofiandri; Siti Maryam Rodja; Amalia Puri HandayaniPusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) secara konsisten menyajikan hasil evaluasi kinerja para wakil rakyat setiap tahun kepada publik. Sejak 2002 PSHK sudah mengkaji kinerja legislasi DPR, sementara itu pada 2003 hasil kajian itu untuk pertama kali diluncurkan. Pengalaman selama satu dekade mengawal proses legislasi di DPR membuat PSHK mengetahui seluk-beluk proses legislasi dan tantangan yang harus dihadapi. Catatan PSHK terhadap kinerja legislasi kali ini diawali dengan membahas capaian kuantitas Prolegnas DPR pada tahun 2012. Capaian kuantitas itu dipaparkan dalam beberapa klasifikasi. Selain itu juga terdapat perbandingan capaian dan target prolegnas selama 3 (tiga tahun) yaitu 2010, 2011, 2012. Capaian kuantitas Prolegnas tahun 2012 kembali menunjukan kegagalan mencapai target yang sudah ditetapkan oleh DPR. Hal itu kembali menunjukan urgensi pembenahan perencanaan legislasi. Selanjutnya, bab kedua membahas mengenai kelembagaan internal DPR dalam kaitannya dengan peraturan internal DPR yang lahir pada 2012. Sepanjang 2012, DPR telah menghasilkan 3 (tiga) peraturan yang merupakan mandat dari UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Keberadaan peraturan internal itu patut diapresiasi namun terobosan yang usung melalui aturan itu harus berhadapan dengan keadaan yang cukup kompleks pada praktiknya. Selain itu juga dibahas mengenai evaluasi laporan kinerja yang masih perlu didorong untuk dilaksanakan oleh seluruh fraksi di DPR. Dinamika relasi antarlembaga selalu menarik untuk diamati dan dianalisis. Setiap tahun PSHK pun selalu melakukan analisis terkait relasi antarlembaga. Pada bab ketiga buku ini mengulas dinamika hubungan DPR sebagai lembaga legislatif dengan lembaga-lembaga pemegang di ranah eksekutif dan dan yudikatif. Salah satu yang cukup menarik untuk dianalisis adalah dinamika relasi DPR dengan Mahkamah Agung pada 2012. PSHK juga menyoroti proses seleksi pejabat publik di DPR. Pada bab keempat, pembaca disuguhkan daftar lengkap seleksi pejabat publik yang berlangsung di DPR selama 2012. DPR melakukan sepuluh kali seleksi pejabat, sedangkan DPR hanya melakukan tujuh kali seleksi pada 2011. Terdapat beberapa hal yang dapat disoroti terkait pelaksanaan seleksi pejabat public atau biasa dikenal dengan istilah Uji Kepatutan dan Kelayakan (fit and proper test) di DPR. Salah satunya adalah mekanisme seleksi pejabat publik yang dinilai masih perlu pembenahan. Pada bab kelima mengupas mengenai politik legislasi. Pembahasan pada bab itu dibuka dengan memaparkan kerangka analisis yang digunakan PSHK. Ada dua kategori besar penilaian yang digunakan, yaitu substansi dan proses. Soal substansi dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu materi muatan serta struktur pengaturan dan kalimat perundang-undangan. Sedangkan dalam hal proses, ada dua hal yang dinilai, yaitu partisipasi publik dan perdebatan. Kemudian pada bagian selanjutnya disuguhkan kajian 10 (sepuluh) undang-undang yang dianalisis oleh PSHK berdasarkan kerangka analisis yang sudah ditentukan. Pada akhir bab, dipaparkan dengan jelas politik legislasi dan dinamikanya di 2012.
- ItemLaporan Baseline Survey Pelayanan Publik Pengadilan: Survey Kepuasan Pengadilan 2013(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2013)Survey kepuasaan pengguna pelayanan publik ini merupakan komponen penting di dalam mewujudkan komitmen Mahkamah Agung (MA) di dalam meningkatkan pelayanan publik pengadilan, sebagai wujud dari suksesnya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh MA. Survey kepuasan pengguna pelayanan publik 2013 ini ditujukan sebagai survey pemetaan awal (baseline), terhadap pelayanan publik pengadilan di Indonesia. Oleh karenanya, survey ini selayaknya ditempatkan bukan untuk menghakimi atau mengevaluasi pelayanan publik pengadilan, namun ditujukan untuk melihat titik lemah maupun titik kuat pelayanan publik pengadilan dan juga mengindentifikasi tantangan dan peluang peningkatan pelayanan publik pengadilan yang lebih baik ke depannya.