Book
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Book by Author "Antoni Putra"
Now showing 1 - 9 of 9
Results Per Page
Sort Options
- Item2 Tahun #Reformasidikorupsi dan Keruhnya Ekosistem Hukum Indonesia(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2021-09-30) Antoni Putra; Auditya Firza Saputra; Agil OktaryalTulisan ini mengulas serangkaian fenomena sebagai bahan refleksi dari implikasi langsung maupun tidak langsung dari aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019 silam. Tulisan ini disusun menggunakan studi pustaka, terutama lewat penelusuran media untuk membaca pola-pola yang terjadi. Temuan menunjukkan bahwa aksi penolakan berbagai RUU oleh mahasiswa dan masyarakat sipil pada akhir September tersebut memiliki jejak panjang bagi pemberantasan korupsi serta memburuknya ekosistem hukum Indonesia. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif masing-masing memiliki kontribusinya bagi situasi yang terjadi kini. Pembiaran demi pembiaran pemangku kebijakan seperti melanggengkan berbagai praktik penyelenggaraan negara yang buruk dan hal ini tak hanya terjadi di pemerintah, tetapi juga di lembaga perwakilan dan lembaga peradilan. Konsolidasi masyarakat sipil untuk mencegah situasi bertambah buruk menjadi keharusan untuk mencegah eskalasi situasi.
- ItemDigitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan di Indonesia(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2020) Muhammad Faiz Aziz; Estu Dyah Arifianti; Antoni Putra; Eryanto NugrohoIndonesia dengan penduduk 270 juta jiwa (BPS, 2020) merupakan pangsa pasar potensial dalam transaksi ekonomi secara daring (e-commerce). Jumlah transaksi perniagaan secara daring pada 2020 mencapai Rp266,3 triliun di mana terdapat peningkatan sebesar 29,6% dari 2019 (Katadata, 2020). Perniagaan daring ini mayoritas menggunakan uang elektronik dalam transaksinya. Data tersebut pun hanya mencakup data e-commerce, belum mencakup nilai transaksi lainnya seperti pinjaman online. Namun, status literasi digital Indonesia yang masih rendah (Katadata-Kominfo, 2020) dan masih tersendatnya kebijakan untuk merespons dinamika pasar membuat penyelesaian sengketa perniagaan melalui online dispute resolution (ODR) belum menemukan formula penyelesaian yang mumpuni. Membebankan semua sengketa ke lembaga peradilan juga bukanlah pilihan mengingat perkara perdata melalui e-court pada 2019 sebelum pandemi saja bisa mencapai hampir 48 ribu kasus (Laporan Tahunan Mahmahah Agung, 2020). Di tingkat kebijakan, pengaturan mengenai ODR terdapat dalam sejumlah regulasi di antaranya seperti Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE); UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik; dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 31/POJK.07/2020 Tentang Penyelenggaraan Layanan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Belum adanya agenda regulasi ini menunjukkan sinyal ketertinggalan kerangka hukum ODR, sehingga membutuhkan kehadiran para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk berada pada halaman yang sama demi efektivitas kebijakan kelak.
- ItemDigitalisasi dan Akses Konsumen terhadap Keadilan di Indonesia(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2021-06) Muhammad Faiz Aziz; Antoni Putra; Estu Dyah Arifianti; Eryanto NugrohoIndonesia dengan penduduk 270 juta jiwa (BPS, 2020) merupakan pangsa pasar potensial dalam transaksi ekonomi secara daring (e-commerce). Jumlah transaksi perniagaan secara daring pada 2020 mencapai Rp266,3 triliun di mana terdapat peningkatan sebesar 29,6% dari 2019 (Katadata, 2020). Perniagaan daring ini mayoritas menggunakan uang elektronik dalam transaksinya. Data tersebut pun hanya mencakup data e-commerce, belum mencakup nilai transaksi lainnya seperti pinjaman online. Namun, status literasi digital Indonesia yang masih rendah (Katadata-Kominfo, 2020) dan masih tersendatnya kebijakan untuk merespons dinamika pasar membuat penyelesaian sengketa perniagaan melalui online dispute resolution (ODR) belum menemukan formula penyelesaian yang mumpuni. Membebankan semua sengketa ke lembaga peradilan juga bukanlah pilihan mengingat perkara perdata melalui e-court pada 2019 sebelum pandemi saja bisa mencapai hampir 48 ribu kasus (Laporan Tahunan Mahmahah Agung, 2020). Di tingkat kebijakan, pengaturan mengenai ODR terdapat dalam sejumlah regulasi di antaranya seperti Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE); UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik; dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 31/POJK.07/2020 Tentang Penyelenggaraan Layanan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Belum adanya agenda regulasi ini menunjukkan sinyal ketertinggalan kerangka hukum ODR, sehingga membutuhkan kehadiran para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk berada pada halaman yang sama demi efektivitas kebijakan kelak. Studi Digitalisasi Akses Konsumen terhadap Keadilan di Indonesia yang disusun oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) atas dukungan program ASEAN - Jerman Consumer Protection in ASEAN (PROTECT) merupakan sebuah upaya untuk membuka jalan bagi terbitnya diskusi antarpemangku kepentingan untuk arah regulasi ODR ke depan. Terdapat berbagai hal seperti skema kelembagaan, tata kelola, penegakan hukum hingga perbandingan dengan negara lain yang merupakan pertanyaan penting untuk menentukan arah kebijakan ODR yang coba dianalisis oleh tim penulis dalam studi ini. Bertemunya hak pencari keadilan dalam skema ODR, baik yang mewakili konsumen maupun produsen, membutuhkan kerangka kebijakan yang sistematis, terukur dan berbasis bukti; apalagi mengingat batas-batas negara dalam ODR nyaris seperti tidak terlihat. --
- ItemKertas Advokasi Kebijakan atas UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Sumber Daya Alam(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2022) Antoni Putra; Gita Putri Damayana; Muhammad Faiz Aziz; Rizky ArgamaHarapan pemerintah, UU Cipta Kerja dapat menjadi alat transformasi ekonomi untuk menghindari middle income trap dalam rangka menuju Indonesia Emas sebelum tahun 2045. serta menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan ekonomi kelima di dunia. Sayangnya, niat baik tersebut tidak tercermin di proses pembentukan dan substansi dalam UU Cipta Kerja. Minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukan menjadi salah satu sektor yang mendapat kritik dalam pembentukan. Dari segi substansi, UU Cipta Kerja juga dinilai tidak ramah lingkungan hidup dan mengancam masyarakat marjinal. Berbagai kelonggaran persyaratan lingkungan hidup bagi pelaku usaha dalam UU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan efek samping. Misalnya pencemaran lingkungan yang mengancam keselamatan bagi generasi mendatang, seperti tidak terpenuhinya hak atas lingkungan hidup yang baik dan hak untuk mendapat tempat tinggal yang aman. UU Cipta Kerja mengubah metode perizinan usaha dari yang awalnya berbasis izin lingkungan menjadi berbasis risiko dan skala usaha. Untuk bisnis berisiko rendah, perizinan usaha hanya disyaratkan melalui penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB). Bisnis berisiko menengah izinnya ditambah dengan pemenuhan sertifikat standar. Sedangkan yang berisiko tinggi membutuhkan persetujuan dari pemerintah pusat untuk memulai usaha.
- ItemLaporan Studi Hubungan Kelembagaan pada Organisasi Pelaksana Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan dengan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2020) Antoni Putra; Fajri NursyamsiDi Indonesia, kelembagaan pemerintah pusat dan daerah masih mendominasi penyelenggaraan penelitian dibandingkan pihak swasta, baik industri maupun masyarakat. Hal itu terjadi karena alokasi anggaran penelitian masih lebih banyak berasal dari pemerintah, yang menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mencapai 66 persen, sedangkan dari pihak swasta hanya mencapai 10 persen. Situasi itu menghadapi tantangan ketika kelembagaan penelitian pemerintah pusat dan daerah di satu sisi harus mengadaptasi pola birokrasi yang cenderung rigid, sedangkan di sisi lain menuntut adanya fleksibilitas dan fokus pada pencapaian substansi dibanding administrasi penelitian. Upaya perbaikan dari permasalahan tersebut dimulai dari mengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek). Salah satu perubahan besar yang dilakukan adalah dalam aspek kelembagaan, yaitu dalam Pasal 48 ayat (1) yang mengatur bahwa untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap), serta invensi dan inovasi yang terintegrasi dibentuklah badan riset dan inovasi nasional. Pembentukan UU Sisnas Iptek itu kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (Perpres BRIN), yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2019. Namun, kerangka kelembagaan BRIN dalam Perpres itu bersifat sementara dan harus dilakukan penataan organisasi yang disesuaikan dengan strategi BRIN dalam rangka pelaksanaan visi presiden berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- ItemLaporan Studi Pengembangan Strategi Advokasi Antidiskriminasi bagi Kelompok Rentan di Indonesia(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2021) Nabila; Fajri Nursyamsi; Auditya Firza Saputra; Antoni PutraTemuan tim menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 30 kategori kelompok rentan yang terserak di berbagai peraturan perundangan-undangan. Namun kategorisasi kelompok rentan dalam peraturan perundang-undangan belumlah cukup, karena situasinya, dari kelompok lansia hingga disabilitas sudah hidup bertahun-tahun di antara masyarakat tanpa kebijakan yang konsisten untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Perlu ada pemetaan lebih lanjut agar kebijakan yang berdampak langsung kepada berbagai kelompok rentan ini bisa tepat sasaran. Permasalahan berikutnya adalah, dalam satu jenis kelompok rentan, tidak mustahil terdapat lapisan kerentanan berikutnya. Misalnya, penyandang disabilitas yang berasal dari suku terasing atau lansia yang tergolong kelompok miskin. Adanya kategori baru yang makin terlihat, seperti kelompok minoritas agama atau penghayat kepercayaaan dan minoritas seksual, juga merupakan sebuah perkembangan baru. Kelompok-kelompok ini rentan diskriminasi sehingga merupakan tantangan bagi pengambil kebijakan untuk dapat merumuskan landasan hukum yang tepat agar golongan ini tidak semakin termarginalisasi. “Socially Responsible Lawmaking” atau pembentukan hukum yang bertanggung jawab secara sosial merupakan nilai-nilai dasar PSHK sebagai organisasi. Salah satu pihak yang sulit terjangkau dalam pembentukan kebijakan dan peraturan perundang-undangan adalah kelompok rentan sehingga hak-hak mereka acapkali terlanggar. Dukungan penyelenggaraan kegiatan dari Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM) dalam penyusunan studi Pengembangan Strategi Advokasi Anti-Diskriminasi Bagi Kelompok Rentan di Indonesia merupakan langkah bermakna untuk pencapaian nilai-nilai dasar tersebut.
- ItemPedoman Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pemulihan Aset di Pasar Modal(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2018-12) M. Nur Sholikin; Eryanto Nugroho; Antoni Putra; Miko Susanto GintingBerdasarkan National Risk Assesment Tahun 2015 yang dikeluarkan PPATK, sektor pasar modal merupakan salah satu area yang sangat berisiko untuk digunakan sebagai media pencucian uang. Sementara menurut Sectoral Risk Assesment Tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), efek yang bersifat ekuitas seperti saham merupakan produk dengan risiko tertinggi untuk digunakan dalam pencucian uang. Kerentanan di pasar modal disebabkan beberapa hal antara lain banyaknya pelaku yang terlibat dalam transaksi pasar modal, sifat transaksi yang dapat dilakukan dari jarak jauh (remote trading) dan tanpa warkat (scriptless), produk-produk pasar modal yang beragam dengan proses bisnis yang cukup kompleks, dan juga nilai transaksi dan kapitalisasi pasar modal yang tinggi... Pedoman ini disusun untuk membantu penegak hukum dalam menangani tindak pidana pencucian uang dan pemulihan aset di pasar modal, khususnya yang berasal dari tindak pidana korupsi. Diharapkan kedepan, penanganan terhadap tindak pidana pencucian uang yang melibatkan media maupun instrumen/ produk pasar modal menjadi lebih optimal. Dari sisi sektor pasar modal, penegakan hukum yang adil dan tegas justru dapat pula mendorong berkembangnya investasi yang sehat dan penguatan pengawasan dalam dunia usaha khusus nya di sektor pasar modal.
- ItemPedoman Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pemulihan Aset di Pasar Modal(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK], 2018) M. Nur Sholikin; Eryanto Nugroho; Muhammad Faiz Aziz; Antoni Putra; Miko Susanto GintingBerdasarkan National Risk Assesment Tahun 2015 yang dikeluarkan PPATK, sektor pasar modal merupakan salah satu area yang sangat berisiko untuk digunakan sebagai media pencucian uang. Sementara menurut Sectoral Risk Assesment Tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), efek yang bersifat ekuitas seperti saham merupakan produk dengan risiko tertinggi untuk digunakan dalam pencucian uang.
- ItemPengembangan Strategi Advokasi Antidiskriminasi bagi Kelompok Rentan di Indonesia: Laporan Studi(Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2021-01-01) Nabila; Fajri Nursyamsi; Antoni Putra; Auditya SaputraPluralitas sering dikatakan sebagai potensi kekuatan bangsa. Namun, realitas keragaman itu di sisi lain juga bagaikan fenomena gunung es: Menyimpan potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa mencair. Seringkali, konflik menimpa kelompok minoritas baik dari segi ras, etnis, bahasa, agama, maupun identitas lainnya. Akibatnya, beberapa populasi terbilang rentan menerima perlakuan diskriminasi. Hampir di setiap tempat potensi kelompok minoritas dan rentan mengalami risiko seperti diskriminasi, stigmatisasi, kekerasan, ataupun kriminalisasi yang cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok mayoritas. Kerap, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dialami masyarakat minoritas, baik di bidang hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial budaya berdampak sangat luas hingga memunculkan efek berantai terhadap kehidupan orang di sekitar mereka. Pembiaran dan kurangnya respons negara untuk menghentikan pelanggaran tersebut membuat perlakuan diskriminatif seolah terlazimkan dalam kehidupan sosial. Dan situasi ini memunculkan kategori-kategori masyarakat rentan yang berhak mendapatkan pelindungan lebih ketimbang masyarakat pada umumnya. Dalam konteks hukum, pengertian kelompok rentan belum secara eksplisit dirumuskan. Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan pelin-dungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Sekilas, tidak ada penafsiran yang bisa ditarik dari rumusan pasal itu selain bahwa adanya hak mendapatkan perlakuan dan pelindungan lebih karena adanya kekhususan. Penjelasan pasal yang sama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan antara lain orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan ‘penyandang cacat’. Sebagai pembanding, Human Rights Reference menggolongkan kelompok rentan termasuk antara lain pengungsi (refugees); pengungsi internal atau Internally Displaced Persons (IDPs); warga negara minoritas (national minorities); pekerja migran (migrant workers); masyarakat adat (indigenous peoples); anak-anak (children); dan perempuan (women). Terlihat, cakupan kelompok rentan yang dimiliki Indonesia masih terbilang sempit karena belum memasukan banyak populasi lainnya, yang juga rentan mengalami risiko-risiko ke dalam kategori tersebut. Di lingkup internasional sendiri terdapat banyak instrumen yang diinisiasi komunitas global terkait pelindungan kelompok rentan, di antaranya, (1) United Nations (UN) Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) (2007); (2) International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (2003); (3) UN Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) (1981); (4) UN Convention on the Rights of the Child (1990); (5) Vienna Declaration and Programme of Action, dan seterusnya. Adapun, beberapa dari instrumen tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi hukum positif. Lebih jauh, berbeda dengan pengaturan kelompok rentan yang masih absen, pengaturan perihal diskriminasi dapat ditemukan di beberapa undang-undang. ‘Diskriminasi’, menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 3 UU HAM, adalah “Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau peng-gunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. Dengan pengertian itu, dapat ditarik setidaknya beberapa hal: Pertama, diskriminasi merupakan persoalan yang menghambat penyelenggaraan pelayanan umum, terutama dalam pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara sebagaimana diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945; kedua, diskriminasi melekat pada suatu kategori, faktor, atau identitas tertentu yang terasosiasikan pada subjeknya. Sebagai sebuah institusi publik, peran keberpihakan negara dalam melindungi dan mencegah perlakuan diskriminatif serta risiko-risiko yang berhubungan dengan kerentanan adalah dengan membentuk sejumlah kebijakan dan juga menegakkan hukum. Kasarnya, kebijakan adalah representasi dari apa yang negara kehendaki atau tidak kehendaki, yang dalam praktiknya terejawantahkan dalam bentuk legislasi maupun non-legislasi—seperti intervensi politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Lewat pembentukan peraturan perundang-undangan, materi muatan yang terkandung diharapkan akan dapat secara jelas dan tegas melarang praktik-praktik diskriminatif, untuk selanjutnya dilaksanakan dengan upaya penegakan hukum yang konsisten. Hilirnya adalah menjamin terlaksananya pelindungan negara yang memadai terhadap pelaksanaan hak-hak dasar masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, walau dengan be-berapa peraturan yang telah diberlakukan di Indonesia, pada kenyataannya perlakuan diskriminasi terhadap kelompok rentan masih sering dijumpai. Merealisasikan budaya anti-diskriminasi seperti jadi tantangan berat lantaran nilai-nilai primordialisme yang hidup di masyarakat kerap jadi faktor penghambat. Misalnya saja dalam kasus pengakuan hak bagi minoritas gender, yang hingga kini masih menuai banyak penolakan dari beberapa kelompok masyarakat sekalipun HAM diklaim sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi dalam bernegara. Berdasarkan gambaran situasi tersebut, muncul kebutuhan untuk membuat kajian yang mengidentifikasi permasalahan legislasi terkait penghapusan diskriminasi terhadap kelompok rentan sehingga usulan perbaikan regulasi dapat dirumuskan. Studi ini berupaya memetakan peraturan perundang-undangan pada level undang-undang yang mengatur mengenai aspek diskriminasi dan aspek kelompok rentan. Terdapat dua pertanyaan riset yang diajukan: Pertama, bagaimanakah kualitas pengaturan undang-undang terkait penghapusan diskriminasi terhadap kelompok rentan saat ini? Kedua, bagaimana strategi advokasi kebijakan untuk memperkuat pengaturan tentang penghapusan diskriminasi terhadap kelompok rentan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia? --