Undergraduate Thesis
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Undergraduate Thesis by Issue Date
Now showing 1 - 20 of 78
Results Per Page
Sort Options
- ItemPenerapan Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Maskapai Penerbangan dalam Hal Penumpang Meninggal Dunia di Dalam Pesawat (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2586/K/Pdt/2008)(STHI Jentera, 2019) Ahmad FauziSebagian orang menganggap bahwa Perbuatan Melawan Hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, adalah Pasal “Sapu Jagat”. Namun demikian, PMH merupakan pasal yang memiliki unsur-unsur yang ketat, karena unsur-unsur dalam pasal tersebut berlaku kumulatif, yang artinya jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi maka PMH gagal diterapkan. Bagaimana jika pasal PMH yang demikian diterapkan pada kasus penerbangan yang juga dikenal sebagai “the most regulated transportation” terutama dalam hal keamanan dan keselamatan penumpang? Tulisan ini akan membahas perkembangan konsep PMH dan bagaimana PMH dilihat dari aspek hukum terkait dengan keamanan dan keselamatan penumpang Pesawat Udara, serta bagaimana hal tersebut diterapkan. Untuk itu, tulisan ini akan menggali bagaimana penerapannya dalam kasus konkret dengan studi kasus gugatan Suciwati melawan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, dkk. dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2586/K/Pdt/2008. Dalam kasus tersebut Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat dan membebaskan sebagian besar tergugat dari gugatan karena tidak terpenuhi salah satu unsur dalam PMH. Majelis Hakim juga menerima prinsip presumption liability/strict liability yang berarti ada atau tidak adanya kesalahan tergugat tetap bertanggung jawab secara hukum. Selain itu, kasus ini merupakan kasus pertama dan baru satu-satunya di Indonesia, yang melibatkan Maskapai Penerbangan untuk melakukan aksi pembunuhan. Dalam konteks perlindungan konsumen, kasus ini juga untuk pertama kalinya kerugian potensial dalam gugatan diterima oleh Majelis Hakim.
- ItemPraktik Pelaksanaan Kewenangan Pembentukan Peraturan Mahkamah Agung(STHI Jentera, 2019-08) Annisa Eka Fitria IsmailAda kenaikan drastis dalam jumlah Peraturan Mahkamah Agung atau PERMA yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung dalam tiga tahun terakhir. Tulisan ini melihat hukum yang berlaku mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam menyusun dan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung dan juga melihat bagaimana Mahkamah Agung menjalankan kewenangannya tersebut, salah satunya dengan melihat dua PERMA yang diterbitkan di tahun2016. Analisis yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa Mahkamah Agung kerap menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung yang melebihi batasan yang diperbolehkan oleh hukum dengan memuat isi hukum materiil dengan alasan demi keadilan atau untuk mengisi kekosongan hukum. Meskipun mungkin memang diperlukan, mengatasi masalah tersebut melalui Peraturan Mahkamah Agung bukan merupakan solusi yang tepat karena dapat, dan telah (sebagaimana ditunjukkan di dalam tulisan ini), menimbulkan tumpang tindih hukum dan tidak didukung dengan proses checks and balances yang optimal dan karenanya berpotensi melanggar hak asasi warga negara Indonesia.
- ItemPerlindungan Hukum Bagi Konsumen Uang Elektronik Berbasis Server dalam Hal Kehilangan Saldo(STHI Jentera, 2019-08) Aqmilatul Kamila; Yunus Husein; Muhammad Faiz AzizDi era global, sistem pembayaran mengalami perkembangan yang cukup pesat. Salah satu ciri perkembangannya adalah dengan hadirnya teknologi finasinal dalam penyelenggaraan sistem pembayaran berupa instrumen uang elektronik. Berdasarkan media penyimpanannya, uang elektronik terdiri dari uang elektronik berbasis chip dan server. Di Indonesia, uang elektronik berbasis server cukup diminati sebagai intrumen pembayaran dalam transaksi ekonomi. Namun, penggunaan uang elektronik berbasis server rentan terhadap sejumlah masalah salah satunya adalah kehilangan saldo. Untuk itu penulis mencoba mengidentifikasi dan mendalami perlindungan konsumen uang elektronik berbasis server dalam hal kehilangan saldo pada 2 (dua) produk uang elektronik yakni GO-PAY dan OVO Cash. Berdasarkan hasil riset penulis, kehilangan saldo uang elektronik berbasis server disebabkan karena gagal dalam melakukan transaksi layanan dan penipuan. Skripsi ini dimaksudkan untuk melihat lebih dalam bagaimana perlindungan konsumen uang elektronik berbasis server yang diberikan oleh Bank Indonesia selaku pemberi izin terhadap penerbit uang elektronik seperti GO-PAY dan OVO Cash. Selain itu, penulis juga ingin menelaah lebih dalam terkait dengan penerapan atau implementasi perlindungan konsumen uang elektronik berbasis server (GO-PAY dan OVO Cash) untuk menghasilkan rekomendasi yang bisa bermanfaat bagi perlindungan konsumen di masa mendatang.
- ItemHarmonisasi Undang-Undang Pengadilan Pajak Terhadap Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan(STHI Jentera, 2019-08-02) Muhammad Kahfi Rahmat Sampurno; Muhammad Faiz Aziz; Dyah Ayu AmbarwatiBanding ke Pengadilan Pajak telah menjadi bahan perdebatan setelah pembentukan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) pada 2008. UU KUP memiliki ketentuan syarat formal pengajuan banding yang berbeda dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak (UU PP). Menurut UU PP, setiap orang yang mengajukan banding harus membayar 50% (lima puluh persen) dari piutang pajak terlebih dahulu. Sementara UU KUP menyatakan bahwa pembayaran piutang pajak hanya dilakukan satu bulan setelah putusan pengadilan pajak dikeluarkan. Sejalan dengan Ketentuan Peralihan UU KUP menyatakan bahwa setiap peraturan pajak lainnya harus sejalan dengan UU KUP. Di lain pihak, Keberadaan Ketentuan Peralihan tidak serta merta membatalkan norma yang berada di UU lain. Untuk menjawab permasalahan ini, MA dan Pengadilan Pajak menyatakan bahwa syarat formil banding merupakan diskresi DJP. Melalui putusannya, tidak semua penggugat wajib membayar piutang pajak. Namun, diskresi DJP pada prosedur formal tidak memiliki landasan hukum. Prosedur fomal merupakan fondasi due process of law. Pelanggaran terhadapnya akan berdampak langsung pada pemenuhan akan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Setiap orang yang mengajukan gugatan baik itu pada Mahkamah Agung maupun Pengadilan Pajak harus mengetahui undang-undang mana yang berlaku sebab putusan akan secara langsung mempengaruhi kekayaan penggugat.
- ItemPermufakatan Jahat Pada Tindak Pidana di Bidang Narkotika dan Relevansinya dengan Pertanggungjawaban Pidana serta Sistem Pembuktian di Indonesia: (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 744/Pid.Sus/2018/Pn.Jkt.Utr dengan Terdakwa Sadikin Arifin)(STHI Jentera, 2019-08-05) Rizki Dermawan; Anugerah Rizki Akbari; Miko Susanto GintingSkripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, mengenai kesesuaian pertimbangan majelis hakim dalam kasus Sadikin Arifin dengan teori kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Kedua, mengenai kesesuaian pembuktian pada perkara Sadikin Arifin dengan teori pembuktian yang berlaku di Indonesia yang mengacu pada Pasal 183 KUHAP. Kedua permasalahan tersebut akan dianalisis dengan metode penelitian kepustakaan. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan suatu kritik atas praktik yang terjadi dalam penyelesaian kasus permufakatan jahat dalam kejahatan narkotika. Parameter pembuktian yang terjadi dalam kasus Sadikin Arifin dapat dijadikan standar untuk melihat praktik pembuktian dalam membuktikan permufakatan jahat pada kejahatan narkotika yang terjadi selama ini. Skripsi ini berkesimpulan bahwa pembuktian yang terjadi dalam kasus Sadikin Arifin tidak sesuai dengan amanah yang telah digariskan oleh Pasal 183 KUHAP dan pertimbangan majelis hakim dalam membuktikan tindak pidana permufakatan jahat tidak sesuai dengan teori dan doktrin hukum pidana. Oleh karena itu, Sadikin Arifin tidak layak untuk dimintai pertanggungjawaban pidana, dengan konsekuensi bahwa Sadikin Arifin harus bebas dari semua tuntutan hukum.
- ItemAnalisis Sosiolegal atas Desain Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai Lembaga Negara Independen(STHI Jentera, 2019-08-05) Muhammad Al Ayyubi Harahap; Bivitri Susanti; Reny Rawasita PasaribuSkripsi ini mengangkat dua permasalahan sebagai fokus membahasan. Pertama, mengenai urgensi keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai lembaga negara independen di Indonesia, hal tersebut lebih lanjut akan membahas desain kelembagaan serta pemberian kewenangan Komnas HAM yang tidak sampai pada tahap penyidikan dan penuntutan kasus pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat. Kedua, terkait jaminan efektivitas Komnas HAM jika diberikan kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam menangani kasus pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat. Untuk membahas kedua permasalahan tersebut, penelitian ini akan menggunakan metode penelitian sosiolegal dan penelitian hukum kualitatif dengan membedah penerapan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu akan membedah UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai perbandingan kewenangan dalam menyelesaikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh aparat negara. Tujuan penelitian ini adalah ingin menunjukkan bahwa ada permasalahan penempatan kewenangan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dalam UU HAM dan UU Pengadilan HAM. Skripsi ini berkesimpulan bahwa untuk dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi, UU HAM dan UU Pengadilan HAM harus memberikan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kepada Komnas HAM layaknya seperti KPK supaya penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM dapat dilakukan secara efektif.
- ItemPemenuhan Hak Atas Pekerjaan Mantan Narapidana oleh Pelaku Usaha: Studi Kasus Guten Morgen Coffee(STHI Jentera, 2019-08-05) Sandi Mahendra; Fajri Nursyamsi; Haris AzharHak atas pekerjaan dalam perspektif hukum nasional maupun internasional melindungi semua kalangan. Dalam hukum internasional, hak atas pekerjaan diatur dalam Universal Declaration of Human Rights, Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan ILO No 111 Convention concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation. Sedangkan dalam hukum nasional, hak atas pekerjaan dilindungi dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meski demikian, masih ada stigma terhadap mantan narapidana dalam mendapatkan hak atas pekerjaan. Kondisi itu menyulitkan mantan narapidana untuk mendapatkan hak atas pekerjaan. Upaya pemenuhan hak atas pekerjaan bagi mantan narapidana, dengan menghilangkan stigma tersebut menjadi kewajiban berbagai pihak, bukan hanya Pemerintah, tetapi juga masyarakat atau pihak swasta. Di tengah praktik stigma yang masih banyak terjadi, ada praktik baik yang dari pelaku usaha yang bersedia menerima mantan narapidana bekerja di usaha kopinya yang diberi nama Guten Morgen Coffe. Yerry Pattinasarany, sebagai pemilik Guten Morgen Coffe, tidak hanya menerima sebagai pegawai, tetapi juga memberikan pelatihan kerja dan keterampilan yang dibutuhkan. Penelitian ini bermaksud untuk menyajikan pemetaan regulasi terkait dengan jaminan pemenuhan hak atas pekerjaan, khususnya bagi mantan narapidana. Selain itu, dengan penelitian ini juga dimaksudkan untuk menunjukan praktik baik yang terjadi di Guten Morgen Coffe dalam hal pemenuhan hak atas pekerjaan bagi mantan narapidana. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan data primer yang didapat dari hasil wawancara langsung kepada pemilik Guten Morgen Coffe, dan juga para mantan narapidana yang bekerja di Guten Morgen Coffe. Data dan informasi yang didapat dianalisa menggunakan sumber hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan, sumber hukum sekunder berupa teori atau doktrin hukum.
- ItemPerwujudan Keterbukaan Informasi di Pemerintahan Desa: Studi Kasus Penggunaan Sistem Informasi Desa dan Kawasan di Desa Mandalamekar Tasikmalaya(STHI Jentera, 2019-08-05) Arina Ratih; Fajri Nursyamsi; M. Nur SholikinAsas Keterbukaan merupakan asas yang penting dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik. Asas ini merupakan salah satu dari AUPB yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan serta 6 peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam penerapannya juga banyak hal yang dapat dilakukan pemerintahan untuk mewujudkannya, salah satunya dengan menerapkan keterbukaan informasi publik. Untuk mengetahui penerapan asas keterbukaan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Perwujudan Keterbukaan Informasi di Pemerintahan Desa: Studi Kasus Penggunaan Sistem Informasi Desa dan Kawasan di Desa Mandalamekar Tasikmalaya” yang memiliki rumusan masalah bagaimana pengaturan asas keterbukaan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan bagaimana pemanfaatan Sistem Informasi Desa dan Kawasan (Sideka) dalam mewujudkan asas keterbukaan di Desa Mandalamekar Tasikmalaya. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana perwujudan keterbukaan informasi di Desa Mandalamekar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif dengan metode pengumpulan datanya yaitu dengan studi kepustakaan dan wawancara dengan Kepala Desa, Perangkat Desa, Direktur PT Bumades Panca Mandala, dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penerapan aplikasi SIDeKa di Desa Mandalamekar sudah mewujudkan Keterbukaan Informasi. Namun dalam hal perlindungan kerahasiaan data yang diinput di aplikasi Sideka, PT Bumades Panca Mandala belum mengatur mengenai siapa yang bertanggungjawab atas perlindungan kerahasiaan data tersebut.
- ItemSengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya tidak Diberikan Undang-Undang Dasar 1945(STHI Jentera, 2019-08-05) Grace Salint Bethania Sianipar; Bivitri Susanti; Mulki ShaderTulisan ini membahas sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Frasa ‘lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945’ yang menjadi subjectum litis dalam sengketa kewenangan lembaga negara, membatasi lembaga-lembaga negara yang baru hadir pasca amandemen UUD 1945 untuk mengajukan sengketa kewenangan ke Mahkamah Konstitusi. Padahal yang menjadi esensi dari sengketa kewenangan lembaga negara ialah prinsip checks and balances dan pemerintahan yang sistematis. Oleh karena itu, MK perlu memperluas tafsir mengenai lembaga negara.
- ItemPenerapan Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Maskapai Penerbangan dalam Hal Penumpang Meninggal Dunia di dalam Pesawat: Studi kasus Gugatan Suciwati Terhadap PT. Garuda Indonesia -Persero Tbk Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2586/K/Pdt/2008(STHI Jentera, 2019-08-09) Ahmad Fauzi; Muhammad Faiz Aziz; Eryanto NugrohoSebagian orang menganggap bahwa Perbuatan Melawan Hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, adalah Pasal “Sapu Jagat”. Namun demikian, PMH merupakan pasal yang memiliki unsur-unsur yang ketat, karena unsur-unsur dalam pasal tersebut berlaku kumulatif, yang artinya jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi maka PMH gagal diterapkan. Bagaimana jika pasal PMH yang demikian diterapkan pada kasus penerbangan yang juga dikenal sebagai “the most regulated transportation” terutama dalam hal keamanan dan keselamatan penumpang? Tulisan ini akan membahas perkembangan konsep PMH dan bagaimana PMH dilihat dari aspek hukum terkait dengan keamanan dan keselamatan penumpang Pesawat Udara, serta bagaimana hal tersebut diterapkan. Untuk itu, tulisan ini akan menggali bagaimana penerapannya dalam kasus konkret dengan studi kasus gugatan Suciwati melawan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, dkk. dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2586/K/Pdt/2008. Dalam kasus tersebut Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat dan membebaskan sebagian besar tergugat dari gugatan karena tidak terpenuhi salah satu unsur dalam PMH. Majelis Hakim juga menerima prinsip presumption liability/strict liability yang berarti ada atau tidak adanya kesalahan tergugat tetap bertanggung jawab secara hukum. Selain itu, kasus ini merupakan kasus pertama dan baru satu-satunya di Indonesia, yang melibatkan Maskapai Penerbangan untuk melakukan aksi pembunuhan. Dalam konteks perlindungan konsumen, kasus ini juga untuk pertama kalinya kerugian potensial dalam gugatan diterima oleh Majelis Hakim. Kata Kunci: PMH, Munir, Perlindungan Konsumen, Hukum Penerbangan, Ganti Kerugian
- ItemAnalisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan Melalui Jalur Non Litigasi Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-Undangan Melalui Jalur Non Litigasi(STHI Jentera, 2019-08-13) Mohammad Sajad; Erni Setyowati; Rival G. Ahmad
- ItemPengaturan Tindak Pidana Korporasi dan Penerapannya di Indonesia(STHI Jentera, 2019-08-15) Adil Surowidjojo; Yunus Husein; Eryanto NugrohoPengaturan hukum acara pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan hal yang sangat penting demi keamanan seluruh unsur masyarakat serta demi kepastian hukum yang diperlukan bentuk badan usaha korporasi sebagai salah satu mesin utama penggerak roda ekonomi negara. Di Indonesia, pengaturan tersebut sudah hadir dalam sistem hukum sejak tahun 1950-an, namun dalam satu-dua dasawarsa terakhir ini, pengaturan tersebut menjadi semakin penting karena potensi kerugian dan biaya pada masyarakat menjadi semakin tinggi sementara keperluan kepatuhan terhadap berbagai macam peraturan perundang-undangan juga membuat korporasi menjadi semakin sensitif terhadap guncangan-guncangan, yang tentunya mencakup suatu suatu tindakan korporasi yang bisa dimintakan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi tersebut. Karena sistem hukum Indonesia kian melihat pentingnya pengaturan tersebut, maka pihak pemerintah selain sudah mengatur melalui proses legislasi mengenai pemidanaan korporasi dalam undang-undang yang relevan, juga telah merasa perlu untuk mengatur hukum acara penanganan perkara di mana pertanggungjawaban pidana korporasi diminta, melalui peraturan pedoman penuntutan Kejaksaan Agung, yang kemudian diikuti oleh pihak yudikatif berupa peraturan pedoman penanganan perkara pemidanaan korporasi Mahkamah Agung. Di sisi lain, penerapan peraturan-peraturan tersebut juga relatif belum dilakukan secara besar-besaran di Indonesia untuk membentuk praktek terbaik dibandingkan dengan di yurisdiksi lain, walaupun kasus-kasus tersebut tetap menarik perhatian masyarakat karena biasanya melibatkan petinggi-petinggi baik swasta dan publik, utamanya karena perkara-perkara yang dibawa ke meja pengadilan cenderung terkait dengan tindak pidana korupsi dan pencemaran lingkungan, serta melibatkan sektor-sektor kaya sumberdaya alam, seperti industri minyak kelapa sawit, perikanan, dan indsutri ekstraktif. Karena dinamika ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia dan secara global pada umumnya, penanganan perkara-perkara di mana pertanggungjawaban pidana oleh korporasi menjadi hal yang penting bagi perjalanan sejarah hukum dan melibatkan pemikiran-pemikiran hukum mutakhir yang sebelumnya mungkin belum secara jauh berkembang. Oleh karena itu, latar belakang, sejarah, dan masa depan penanganan perkara-perkara tersebut di Indonesia amat menarik untuk diulas dan diamati dan menjadi perhatian Penulis untuk kemudian menuangkannya dalam penulisan Skripsi ini.
- ItemKedudukan dan Keabsahan Hasil Pemeriksaan Poligraf dalam Sistem Pembuktian Pidana di Indonesia: Tinjauan Prinsip Peradilan yang Adil (Fair Trial)(STHI Jentera, 2019-08-16) Lovina; Anugerah Rizki Akbari; Miko Susanto GintingSkripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, bagaimana kedudukan hasil pemeriksaan poligraf berdasarkan sistem pembuktian pidana di Indonesia? Kedua, bagaimana keabsahan hasil pemeriksaan poligraf ditinjau dari prinsip peradilan yang adil? Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan serta keabsahan hasil pemeriksaan poligraf berdasarkan sistem pembuktian pidana di Indonesia, ditinjau dari prinsip peradilan yang adil. Skripsi ini berkesimpulan bahwa kedudukan hasil pemeriksaan poligraf dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia adalah sebagai barang bukti, yang kemudian dapat dikategorikan menjadi alat bukti surat, keterangan ahli, atau petunjuk. Di samping soal kedudukan, hal lain yang tak boleh luput ketika membahas hasil pemeriksaan poligraf adalah keabsahannya sebagai bukti ilmiah sehingga bisa digunakan di pengadilan. Hingga saat ini, pemeriksaan poligraf di Indonesia masih bergantung pada kualifikasi dan keahlian pemeriksanya yang belum memiliki standar. Selain itu, prosedur dan teknik pemeriksaan poligraf mengandalkan perubahan reaksi tubuh maupun jawaban dari orang yang diperiksa, sehingga sudah sepatutnya penegak hukum dan hakim menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang adil, antara lain pemeriksaan dilakukan secara sukarela, mendapat persetujuan dari orang yang diperiksa, pemeriksaan didampingi oleh penasihat hukum, dan orang yang diperiksa memberikan keterangan secara bebas, serta mendapatkan informasi utuh mengenai prosedur, teknik pemeriksaan, maupun segala dampak yang mungkin timbul dari pemeriksaan tersebut terhadap dirinya, sebagai landasan utama ketika mempertimbangkan hasil pemeriksaan poligraf sebagai bukti ilmiah di persidangan. Jika prinsip-prinsip tersebut tidak diterapkan, maka hasil pemeriksaan poligraf tersebut menjadi tidak sah dan tidak punya nilai pembuktian di persidangan.
- ItemPerlindungan Hak Atas Tanah bagi Warga Negara terhadap Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum: Studi Kasus Normalisasi Sungai Ciliwung, Jakarta Selatan(STHI Jentera, 2019-08-19) Siti Solihat; Fajri Nursyamsi; Siti Rakhma Mary HerwatiPengadaan tanah bagi pembangunan kerap mendatangkan masalah dari tahun ke tahun. Meskipun Pemerintah telah memiliki Undang-Undang tentang pengadaan tanah, tetapi pada praktiknya pengadaan tanah selalu jadi masalah di lapangan. Dalam penelitian ini, penulis akan membahas dua permasalahan. Pertama, mengenai perlindungan hukum terhadap hak atas tanah bagi warga negara dalam upaya pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum. Kedua, mengenai perlindungan hak atas tanah warga Bukit Duri dalam proyek normalisasi Sungai Ciliwung. Kedua permasalahan tersebut akan dianalisis dengan metode penelitian kepustakaan dan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah dalam Undang-Undang Pengadaan tanah untuk pembangunan sudah memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pemilik hak atas tanah. Sejauh mana implementasi dalam pengaturan yang berkaitan dengan perlindungan hak atas tanah. Apakah peraturan mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sudah menjamin perlindungan hak atas tanah bagi warga negara dan sesuai dengan konstitusi. Dari Penelitian ini, dapat dikatakan bahwa dalam implementasinya perlindungan hukum terhadap hak atas tanah masih diabaikan.
- ItemKedudukan Lembaga Kuasi Yudisial dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai Lembaga Kuasi Yudisial(STHI Jentera, 2019-08-19) Maryam; Mulki Shader; Rizky ArgamaPerkembangan kekuasaan negara dengan munculnya lembaga negara independen merupakan fenomena ketatanegaraan yang terjadi di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu lembaga negara independen yang muncul adalah lembaga kuasi yudisial. Lembaga itu menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi eksekutif dan yudikatif. Kehadiran lembaga kuasi yudisial memberikan pengaruh terhadap sistem ketatanegaraan, khususnya pada kedudukannya dalam ketatanegaraan. Di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga kuasi yudisial yang menjalankan fungsi pemerintahan di bidang perekonomian, yaitu menjaga persaingan usaha, sekaligus fungsi yudikatif, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga menjatuhkan putusan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang persaingan usaha. Berdasarkan hal tersebut, penulis merumuskan dua pertanyaan penelitian yaitu: bagaimana konsep lembaga kuasi yudisial secara umum serta penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia? dan bagaimana kedudukan KPPU sebagai lembaga kuasi yudisial dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia? Untuk menjawab permasalahan tersebut, Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran lembaga kuasi yudisial di Indonesia sudah diakomodasi oleh konstitusi, meskipun pengaturannya tidak secara tegas dan eksplisit. KPPU sebagai lembaga kuasi yudisial yang kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan sebagai lembaga negara independen tidak dapat dipengaruhi oleh cabang kekuasaan negara atau pihak lain.
- ItemKriminalisasi Perbuatan Merokok dalam Kawasan Tanpa Rokok: Studi Kasus Pasal 33 Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 2 tentang Kawasan Tanpa Rokok(STHI Jentera, 2019-08-20) Novita; Anugerah Rizky Akbari; Miko Susanto GintingPenelitian ini mendiskusikan rasionalisasi kriminalisasi perbuatan merokok di kawasan tanpa rokok (KTR) yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Pasal 33 ayat (1) pada Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Untuk membahas secara mendalam, maka digunakan teori kriminalisasi Douglas Husak dan akan diuji dengan hasil justifikasi dari inisiator. Teknik untuk mendapatkan data didapat dengan studi kepustakaan dan wawancara. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis kepantasan penggunaan sanksi pidana dalam pembatasan perbuatan merokok. Riset ini menyimpulkan tentang kepantasan pembatasan perbuatan merokok oleh Pemerintah Kota Bogor yang tidak memiliki cukup justifikasi karena masih adanya satu unsur pembatasan internal yang tidak terpenuhi. Meskipun dalam unsur pembatasan eksternal terpenuhi secara keseluruhan, tetapi kedua jenis pembatasan ini harus terpenuhi secara kumulatif agar rasionalisasi kriminalisasi perbuatan merokok tersebut dapat dijustifikasi dengan baik.
- ItemPenggunaan Senjata Api Oleh Kepolisian Sebagai Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Di Indonesia: Sebuah Tinjauan dari Due Process of Law(STHI Jentera, 2019-08-22) Ahmad Budi Santoso; Anugerah Rizki Akbari; Miko GintingTulisan ini melihat hukum yang berlaku mengenai penggunaan senjata api oleh kepolisian baik nasional maupun internasional. Terutama terkait adanya kesenjangan antara pengaturan di level nasional dengan yang berkembang di level internasional. Selain itu, riset ini juga melihat bagaimana Pengadilan HAM Eropa dan InterAmerika memutus kasus penggunaan senjata api yang diduga sewenang-wenang oleh kepolisian, salah satunya dengan melihat pertimbangan hakim pada putusan Kelly dan yang lain melawan The United Kingdom serta putusan Dozerma melawan Republik Dominika. Kedua putusan itu digunakan sebagai konteks untuk penyempurnaan PERKAP Nomor 1 Tahun 2009 dari praktik terbaik yang ditunjukkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dan Inter-Amerika. Analisis yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan antara instrumen internasional dan PERKAP Nomor 1 Tahun 2009 terutama dalam penerapan prinsip penggunaan senjata api. Prinsip itu tidak diterapkan dengan begitu baik dalam PERKAP sehingga menimbulkan kesenjangan yang signifikan. Selain itu, setelah melihat dari pertimbangan hakim terkait kasus penggunaan senjata api oleh kepolisian, ditemukan bahwa kasus penggunaan senjata api ini begitu penting untuk diperiksa di pengadilan karena sifat dari penggunaannya dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Kedua putusan itu juga dapat dijadikan rujukan dalam penyempurnaan pengaturan penggunaan senjata pada PERKAP Nomor 1 Tahun 2009.
- ItemAnalisis Praktik Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Seleksi Calon Hakim Agung(STHI Jentera, 2019-08-30) Martadina Yosefin Siregar; Rizky Argama; Dian RositawatiPenelitian ini membahas dua permasalahan. Pertama, mengenai bagaimana perkembangan kerangka hukum tentang seleksi Hakim Agung di Indonesia. Kedua, mengenai bagaimana praktik pelaksanaan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam seleksi Hakim Agung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian skripsi ini berkesimpulan bahwa, kerangka hukum tentang seleksi Hakim Agung di Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masa. Hal tersebut dipengaruhi oleh amandemen Undang-undang tentang Mahkamah Agung dan diadopsinya Undang-undang tentang Komisi Yudisial yang mengubah proses seleksi Hakim Agung. Namun pada praktiknya, DPR belum berkerja secara efektif dalam melaksanakan seleksi Hakim Agung. Kondisi itu mengakibatkan inefesiensi anggaran, waktu, serta kekosongan Hakim Agung.
- ItemPeran Paralegal dalam Mewujudkan Persamaan di Hadapan Hukum: Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 292/PID.SUS/2018/PN.PST(STHI Jentera, 2020-08-25) Andrie Yunus; Fajar Nursyamsi; Erni SetyowatiPutusan Mahkamah Agung Nomor 22 P/Hum/2018 atas Hak Uji Materil Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. 01 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum telah mengebiri eksistensi peran paralegal dalam memberikan bantuan hukum baik secara litigasi maupun non-litigasi. Padahal peran paralegal sebagaimana yang termaktub dalam Permenkumham Paralegal adalah sebagai bentuk jawaban atas minimnya kesediaan jumlah advokat pada lembaga bantuan hukum dalam memberikan bantuan hukum kepada rakyat miskin dan marjinal. Secara historis, konsep peran paralegal dalam melakukan pendampingan di pengadilan telah lama dilakukan oleh pokrol bambu sejak era pemerintahan kolonial. Selain itu peran paralegal tersebut merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan prinsip persamaan di hadapan hukum yang merupakan pilar konsep negara hukum. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Ari yang merupakan paralegal LBH Masyarakat dalam perannya memberikan pendampingan pada proses tahapan pemeriksaan persidangan yang dimulai dari pemeriksaan identitas terdakwa, pembacaan dakwaan, eksepsi, pembuktian, pembacaan surat tuntutan, pembelaan (pledoi) dan putusan hakim.
- ItemPelindungan Konsumen Asuransi di Indonesia: Studi Kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero)(STHI Jentera, 2020-08-25) Hidayatullah Muhammad Al Amin Nasution; Yunus Husein; Muhammad Faiz AzizAsuransi merupakan suatu perjanjian pertanggungan risiko antara konsumen asuransi dan perusahaan asuransi. Manfaat yang bisa didapatkan konsumen melalui asuransi yaitu rasa aman dan pelindungan, efisiensi dalam menjalankan usaha karena dapat mencegah atau mengurangi risiko, polis asuransi dapat dijadikan dasar bagi kredit, menjadi alat tabungan dan sumber pendapatan. Akan tetapi, manfaat tersebut bisa saja tidak tejadi ketika perusahaan asuransi mengalami gagal bayar seperti di kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang gagal membayar polis kepada nasabahnya bahkan ekuitas perusahaan minus Rp23,92 triliun. Oleh karenanya, penulis mencoba mengidentifikasi kelemahan pelindungan konsumen hingga penyebab Jiwasraya mengalami gagal bayar. Penulis menggunakan pendekatan legal research yakni penulis melihat apakah hukum yang ada saat ini telah memecahkan masalah konkret terkait pelindungan konsumen asuransi di Indonesia. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis artinya penulis memaparkan pengaturan pelindungan hukum bagi nasabah asuransi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku serta menelaah implementasi atas peraturan tersebut. Hasil penelitian penulis yakni JS Saving Plan merupakan produk asuransi yang cacat dan Jiwasraya mempunyai tata kelola investasi yang buruk. Selain itu, OJK lalai dalam mengawasi peredaran produk JS Saving Plan dan tata kelola investasi Jiwasraya yang melanggar ketentuan perundang-undangan. Terlebih lagi, belum adanya lembaga penjamin polis asuransi turut berkontribusi pada gagalnya pelindungan konsumen asuransi dari dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi.