Undergraduate Thesis
Permanent URI for this collection
Browse
Recent Submissions
- ItemPembatasan Kewenangan Presiden Dalam Masa Pemilihan Umum Presiden: Studi Kasus Pemilu 2024(Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, 2025-01-30)Pasal 4 sampai dengan Pasal 14 Undang-undang Dasar 1945 mengatur tentang kewenangan Presiden dalam sistem presidensial di Indonesia. Dari 17 pasal dalam Bab III itu tidak satupun yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Presiden pada saat tahapan proses pemilu berlangsung, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Berpijak pada fakta-fakta yang terjadi pada Pemilu 2024, ada sorotan yang tajam terhadap tindakan Presiden yang diduga sebagai intervensi atau ”cawe-cawe” untuk memenangkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu, yang calon wakil presidennya adalah anaknya sendiri. Tindakan dan kebijakan Presiden yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan itu berbentuk pengerahan aparat negara seperti perangkat desa dengan menambah masa jabatannya, pembayaran gaji ke-13 bagi PNS/ASN dan TNI/Polri, hingga tindakannya menaikkan anggaran dana bantuan sosial yang masif sekaligus membagi-bagi bantuan sosial itu pada saat menjelang hari pencoblosan. Bansos dibagikan dengan dikesankan dan dipesankan bahwa bansos itu adalah dari dirinya sebagai Presiden atau dikenal juga dengan istilah politik gentong babi. Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PHPU.PRES- XXII/2023 menyebutkan bahwa dugaan tersebut tidak cukup bukti, dengan alasan waktu pembuktian yang singkat. Putusan yang disertai dissenting opinion oleh tiga hakim tersebut berpendapat bahwa peran Presiden Joko Widodo dalam memberikan bantuan sosial dapat berpotensi mempengaruhi elektabilitas salah satu pasangan calon. Penelitian ini akan menganalisa secara yuridis normatif pembatasan kewenangan Presiden selama masa pemilihan umum presiden yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan terutama berbasis pada Pasal 4 UUD 1945. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memperjelas batasan kewenangan Presiden yang terkait dengan pemilihan umum presiden, sehingga terhindar dari potensi konflik kepentingan.
- ItemSistem Kepengurusan Perusahaan One-Tier Board System Pada Perseroan Perorangan Ditinjau dari Teori Principal-Agent(Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, 2025-01-23)Perseroan perorangan di Indonesia menggunakan sistem kepengurusan sistem one-tier, di mana seluruh tanggung jawab kepemimpinan terpusat pada pemegang saham tunggal. Menurut teori prinsipal-agen, pemusatan kekuasaan yang berlebihan pada satu orang dapat menimbulkan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan, yang berisiko merugikan pengelolaan perusahaan. Salah satu solusi untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengatur adanya direksi non pemegang saham yang dapat membantu meningkatkan kinerja dan efektivitas perusahaan. Melalui riset kepustakaan yang mengacu pada berbagai sumber seperti jurnal, buku, dan artikel, dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem one-tier tetap dapat dijalankan dengan baik jika diimbangi dengan adanya otoritas pendelegasian kewenangan melalui ketentuan yang mengatur keberadaan direksi non-pemegang saham. Pengaturan ini tidak akan mengubah prinsip kesederhanaan yang menjadi ciri khas perseroan perorangan, namun memberikan lapisan pengelolaan yang lebih baik. Penambahan direksi non-pemegang saham juga memungkinkan terbentuknya struktur pengawasan yang berlapis, yang akan meningkatkan pengawasan dan membantu dalam efektivitas keputusan-keputusan strategis perusahaan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk melakukan perubahan regulasi yang mengatur keberadaan direksi non-pemegang saham sebagai bagian dari struktur kepengurusan perseroan perorangan, guna mencapai keseimbangan antara efisiensi dan pengawasan yang lebih baik.
- ItemAnalisis Pertimbangan Putusan Cerai Terkait Nafkah Anak (Studi Kasus: Putusan Pengadilan Negeri Dan Agama Jakarta Barat Tahun 2023)(Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, 2024-08-12)Menurut konsep kepentingan terbaik anak, dalam perkara cerai antara suami istri yang memiliki anak, maka putusan hakim semestinya tidak hanya sebatas tentang menghapuskan ikatan perkawinan, tapi juga memberikan pelindungan hukum pada anak dengan mempertimbangkan kepentingan terbaiknya. Salah satu cara pelindungan tersebut adalah pembebanan kewajiban nafkah anak dalam putusan hakim. Penelitian ini terdiri atas tinjauan pengaturan tentang nafkah anak pasca perceraian orang tua dan studi kasus penerapan hukum dalam pertimbangan hakim. Studi kasus dilakukan pada putusan-putusan perceraian di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Jakarta Barat tahun 2023 dengan metode penelitian kualitatif. Dengan mengidentifikasi pola-pola dari putusan-putusan yang diteliti, penelitian ini menyimpulkan bahwa hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat mengutamakan kepentingan terbaik anak untuk memaknai Pasal 41 huruf b UU Perkawinan, sehingga ketiadaan bukti penghasilan tidak menghalangi untuk membebankan nominal nafkah anak yang harus dibayar suami. Dalam putusan-putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat yang diteliti, alasan yang menguatkan pemberian kewajiban nafkah anak kepada ayah adalah adanya kesepakatan mediasi, ayah menyatakan kesanggupan secara lisan di pengadilan, atau ada bukti yang menunjukkan penghasilan ayah. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama memiliki kesamaan dalam hal tidak memberikan amar tentang nafkah anak jika tidak dituntut. Dari analisa terhadap peraturan dan pertimbangan hakim, penulis memberikan saran perbaikan.
- ItemAnalisis Hubungan antara Rakyat dan Negara Ditinjau dari Pengaturan Pajak Pertambahan Nilai pada Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Menurut Perspektif Constitutional Contractarianism(Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, 2024-08-21)Hubungan antara rakyat dan negara dalam sektor perpajakan mencakup dimensi kedaulatan rakyat dan legitimasi otoritas negara. Penelitian ini mengeksplorasi hubungan tersebut menurut konsep constitutional contractarianism dalam perpajakan, dengan fokus pada pengaturan Pajak Pertambahan Nilai dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dengan menggunakan metode qualitative theoretical and conceptual legal research, penelitian ini merujuk pada diskursus teori kontrak sosial, perpajakan demokratis modern, konstitusi Indonesia, risalah penyusunan konstitusi, dan naskah akademik undang- undang. Penelitian ini mengidentifikasi lima prinsip utama constitutional contractarianism dalam perpajakan: (i) legitimasi melalui konstitusi, (ii) jaminan kedaulatan rakyat dan tujuan negara cita melalui perlindungan hak-hak wajib pajak, (iii) pembentukan melalui undang- undang, (iv) muatan seperangkat aturan lengkap, dan (v) pembatasan kekuasaan. Prinsip- prinsip tersebut menjadi kerangka analisis untuk mengevaluasi hubungan antara rakyat dan negara yang dibangun oleh objek penelitian. Meskipun prinsip legitimasi konstitusional dalam perpajakan terpenuhi, penelitian ini menyoroti sejumlah tantangan dalam menyeimbangkan tujuan ekonomi dengan perlindungan hak-hak dan kedaulatan rakyat, yakni perlindungan yang tidak memadai terhadap hak-hak wajib pajak, partisipasi publik yang terbatas dalam proses legislasi, dan pendelegasian wewenang yang berlebihan kepada eksekutif. Perspektif negara masih terbatas pada pandangan pajak sebagai kewajiban, dan belum sampai pada prinsip- prinsip perpajakan modern dan negara cita sebagai entitas kolektif yang merdeka dengan berlandaskan pada asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi corak Indonesia.
- ItemTinjauan Pemberian Ganti Rugi Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perlindungan Data Pribadi(Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, 2024-08-06)Pelindungan data pribadi merupakan salah satu isu krusial dalam era digital saat ini. Terdapat beberapa kasus perbuatan melawan hukum terkait pelindungan data pribadi di Indonesia, salah satunya seperti kasus kebocoran data pribadi pada platform Tokopedia dalam konteks privasi dan keamanan data pengguna. Saat ini, Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2002 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). UU ini memberikan landasan hukum dalam menangani persoalan hukum pelanggaran data pribadi. Namun, UU spesifik tersebut belum memberikan pengaturan yang jelas terkait ganti rugi bagi mereka yang mengalami kerugian akibat perbuatan melawan hukum terkait pelindungan data pribadi. Tidak adanya pengaturan yang jelas menimbulkan pertanyaan mengenai tanggung jawab pelanggaran dan perhitungan kerugian. Hal tersebut tentu dapat berdampak pada korban pelanggaran yang tidak mendapatkan keadilan terkait dengan ganti rugi yang layak.