Undergraduate Thesis
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Undergraduate Thesis by Title
Now showing 1 - 20 of 78
Results Per Page
Sort Options
- ItemAnalisis Hak Cipta atas Cover Lagu yang Dipublikasikan pada Platform Youtube (Studi Kasus Nagaswara Melawan Gen Halilintar dalam Putusan Nomor 41 PK/Pdt.Sus- HKI/2021)(STHI Jentera, 2023-08-14) Gregorius Yoseph Laba; Muhammad Faiz Aziz; Gita Putri DamayanaHak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. Di dalam hak cipta melekat hak moral dan hak ekonomi pencipta dan/atau pemegang hak cipta. Salah satu objek hak cipta yang diatur dan dilindungi undang-undang adalah lagu. Perkembangan teknologi digital saat ini memungkinkan sebuah lagu dapat dinyanyikan kembali oleh orang lain yang bukan merupakan penyanyi asli – dan kemudian dipublikasikan pada platform digital. Fenomena ini menimbulkan adanya lagu cover (cover song). Aktivitas lagu cover sering menimbulkan sengketa dalam lapangan hukum hak cipta. Salah satu sengketa hak cipta terkait cover lagu yang terjadi di Indonesia adalah kasus Nagasara melawan Gen Halilintar. Kasus ini bermula pada September 2019 dan berakhir pada Desember 2021 melalui putusan peninjauan kembali Nomor 41 PK/Pdt.Sus-HKI/2021. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi, menguraikan, dan menganalisis pengaturan hak cipta terhadap cover lagu yang dipublikasikan pada platform youtube; menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terkait sengketa hak cipta lagu cover; dan merekomendasikan pengaturan hak cipta ke depannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gen Halilintar telah melakukan pelanggaran hak cipta, khususnya berkaitan dengan hak moral. Selain itu terdapat kekosongan hukum pengaturan perjanjian lisensi lagu cover yang mengandung hak cipta pada platform youtube. Oleh karenanya diperlukan pengaturan lebih lanjut terkait lagu cover pada platform digital yang memenuhi kebutuhan konten kreator dan juga melindungi kepentingan pencipta dan/atau pemilik hak cipta. Kata kunci: Hak Cipta, Cover Lagu, Youtube
- ItemAnalisis Hukum Persaingan Usaha dalam Persaingan antara Minimarket Berjaringan dengan UMKM Studi kasus: Alfamart dan Toko atau Warung Kelontong di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten(STHI Jentera, 2020-08-25) Devy Kusuma Wati; Gita Putri Damayana; Eryanto NugrohoPada kurun waktu sepuluh tahun belakangan, perkembangan bisnis di Indonesia didominasi oleh waralaba jenis toko modern. Dari berbagai bentuk toko modern, perkembangan paling pesat terjadi pada minimarket. Seiring perkembangannya yang begitu pesat, tidak menafikkan terjadinya banyak konflik yang melibatkan minimarket dengan toko kelontong konvensional di sekitarnya. Secara umum, minimarket terbagi menjadi dua, yaitu minimarket yang berdiri sendiri dan minimarket berjaringan. Minimarket berjaringan umumnya termasuk dalam usaha besar, sementara toko kelontong konvensional adalah usaha mikro atau kecil. Konflik yang terjadi antara keduanya seringkali didasari karena pendirian minimarket berjaringan berlokasi sangat dekat dengan toko kelontong konvensional. Dalam penelitian ini juga dilakukan penelusuran regulasi mengenai pengaturan soal jarak pendirian minimarket di Jawa Tengah. Kemudian penulis tertarik untuk menganalisis bagaimana relasi persaingan usaha antara minimarket dengan toko kelontong konvensional. Apakah hanya dengan melihat bahwa salah satunya adalah usaha besar dan yang lain adalah usaha mikro atau kecil, lantas terdapat pelaku usaha yang menduduki posisi dominan. Studi kasus dalam penelitian ini dilakukan terhadap Alfamart (usaha besar) dan toko kelontong konvensional (UMKM) di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
- ItemAnalisis Praktik Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Seleksi Calon Hakim Agung(STHI Jentera, 2019-08-30) Martadina Yosefin Siregar; Rizky Argama; Dian RositawatiPenelitian ini membahas dua permasalahan. Pertama, mengenai bagaimana perkembangan kerangka hukum tentang seleksi Hakim Agung di Indonesia. Kedua, mengenai bagaimana praktik pelaksanaan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam seleksi Hakim Agung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian skripsi ini berkesimpulan bahwa, kerangka hukum tentang seleksi Hakim Agung di Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masa. Hal tersebut dipengaruhi oleh amandemen Undang-undang tentang Mahkamah Agung dan diadopsinya Undang-undang tentang Komisi Yudisial yang mengubah proses seleksi Hakim Agung. Namun pada praktiknya, DPR belum berkerja secara efektif dalam melaksanakan seleksi Hakim Agung. Kondisi itu mengakibatkan inefesiensi anggaran, waktu, serta kekosongan Hakim Agung.
- ItemAnalisis Sosiolegal atas Desain Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai Lembaga Negara Independen(STHI Jentera, 2019-08-05) Muhammad Al Ayyubi Harahap; Bivitri Susanti; Reny Rawasita PasaribuSkripsi ini mengangkat dua permasalahan sebagai fokus membahasan. Pertama, mengenai urgensi keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai lembaga negara independen di Indonesia, hal tersebut lebih lanjut akan membahas desain kelembagaan serta pemberian kewenangan Komnas HAM yang tidak sampai pada tahap penyidikan dan penuntutan kasus pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat. Kedua, terkait jaminan efektivitas Komnas HAM jika diberikan kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam menangani kasus pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat. Untuk membahas kedua permasalahan tersebut, penelitian ini akan menggunakan metode penelitian sosiolegal dan penelitian hukum kualitatif dengan membedah penerapan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu akan membedah UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai perbandingan kewenangan dalam menyelesaikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh aparat negara. Tujuan penelitian ini adalah ingin menunjukkan bahwa ada permasalahan penempatan kewenangan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dalam UU HAM dan UU Pengadilan HAM. Skripsi ini berkesimpulan bahwa untuk dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi, UU HAM dan UU Pengadilan HAM harus memberikan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kepada Komnas HAM layaknya seperti KPK supaya penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM dapat dilakukan secara efektif.
- ItemAnalisis Standard Cost Model (SCM) Terkait Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Terhadap Wajib Pajak di Sektor Usaha Mikro dan Kecil(STHI Jentera, 2021-07-22) Anak Agung Made Desni Sensini; Muhammad Faiz Aziz; Tsurayya NurahmahWajib pajak badan pada sektor usaha mikro dan kecil dengan jumlah peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.0000.000,- dalam satu tahun pajak memiliki kewajiban pembayaran pajak penghasilan final 0,5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018). Namun, penerapan skema PPh final ini belum mendukung pelaksanaan sistem self-assesment sehingga diperlukan perhitungan beban administratif menggunakan metode Standard Cost Model dan usulan penyederhanaan prosedur dalam memenuhi ketentuan PP tersebut. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipologi metode normatif yuridis serta dukungan pendekatan dari disiplin ilmu lain untuk mengevaluasi peraturan. Hasil studi menunjukkan bahwa total beban administratif yang dikeluarkan 1.500.200 (satu juta lima ratus ribu dua ratus) unit usaha mikro dan kecil sebagai populasi yang terdampak PP 23/2018 dalam memenuhi PP 23/2018 yakni Rp31.648.354.218.000,-. Sementara itu, melalui usulan penyederhanaan beban administratif yang dikeluarkan hanya sebesar Rp16.195.529.116.000,- dengan frekuensi satu tahun pajak. Beban administratif dapat diturunkan dengan menghilangkan sejumlah dokumen repetitif diantaranya yakni: dokumen yang berkaitan dengan identitas perseroan dan pengurus perseroan, Surat Keterangan UMK, dokumen bukti pembayaran pajak, notifikasi penyelenggaraan pencatatan, mengadopsi sistem automatic tax system, meniadakan konfirmasi pajak dan Surat Keterangan Fiskal. Usulan penyederhanaan prosedur ini berpotensi dapat menghemat beban administratif sebesar 49%.
- ItemAnalisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan Melalui Jalur Non Litigasi Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-Undangan Melalui Jalur Non Litigasi(STHI Jentera, 2019-08-13) Mohammad Sajad; Erni Setyowati; Rival G. Ahmad
- ItemAsuransi Lingkungan Sebagai Alternatif Pemenuhan Pertanggungjawaban Perdata Korporasi dalam Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan(STHI Jentera, 2022-08-09) Luthfia Fauziah Tita; Yunus Husein; Giri Ahmad TaufikSistem pertanggungjawaban perdata di Indonesia belum mampu secara optimal mengembalikan biaya ganti rugi dalam kasus Karhutla. Salah satu penyebab utamanya karena sistem pertanggungjawaban perdata tidak dapat berfungsi dengan efektif jika terdapat kemungkingan insolvensi pada diri pencemar sehingga pencemar tidak dapat membayar ganti rugi yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Dalam hal ini, asuransi lingkungan dapat meyediakan jaminan keuangan yang diperlukan untuk mengurangi kemungkinan insolvensi pada calon pencemar. Berdasarkan penelusuran literatur dan hasil wawancara, penelitian ini menemukan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia merumuskan asuransi lingkungan dalam kerangka Dana Penjaminan untuk Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup. Perumusan tersebut secara implisit menegaskan fungsi asuransi lingkungan sebagai jaminan keuangan untuk memastikan pencemar membayar ganti rugi ketika dirinya dibebani pertanggungjawaban perdata. Agar dapat diterapkan secara optimal, maka diperlukan pengaturan lebih lanjut terkait mekanisme penentuan nilai pertanggungan, penentuan tarif premi, limit ganti rugi, dan bentuk asuransi lingkungan. Kata Kunci : Asuransi Lingkungan, Pertanggungjawaban Perdata, Karhutla
- ItemDampak Penggunaan Kata ‘Oknum’ terhadap Pelaksanaan Tanggung Jawab Pejabat dan Lembaga Negara: Analisis Wacana dan Yuridis atas Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan(STHI Jentera, 2023-08-22) Mellayanah; Rizky Argama; Fajri NursyamsiPernyataan pejabat di muka publik memiliki konsekuensi yang lebih besar dibandingkan dengan pernyataan dari orang biasa karena beban tanggung jawabnya yang berbeda. Kasus pelanggaran hukum yang melibatkan seorang aparat dan pejabat seringkali direspons dengan menyebutkan bahwa aparat atau pejabat tersebut adalah oknum. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana pernyataan seorang pejabat, khususnya terkait penggunaan kata oknum, dapat memberikan dampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan linguistik. Selain itu, dengan fokus pada pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, penelitian ini juga akan melihat apakah pernyataan tersebut merupakan bentuk kebijakan publik dan objek sengketa tata usaha negara. Penulis juga akan menganalisis penggunaan kata oknum di dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan untuk melihat perubahan makna dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga setelah Reformasi. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan normatif dan analisis wacana kritis. Hasilnya, wacana yang diproduksi oleh Mahfud MD merupakan bentuk kebijakan publik, tetapi tidak dapat dijadikan objek sengketa tata usaha negara. Berdasarkan analisis penggunaan kata oknum, kata oknum telah mengalami perubahan makna dari yang sebelumnya netral menjadi negatif. Dari analisis wacana dan yuridis, dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata oknum bermaksud memisahkan seorang pejabat dari lembaganya apabila pejabat tersebut melakukan tindakan penyelewengan sehingga citra lembaga tetap bersih. Kata kunci: oknum, pejabat, kebijakan publik, pertanggungjawaban lembaga.
- ItemDesain Ulang Kelembagaan Fraksi Untuk Menunjang Fungsi Representasi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat(STHI Jentera, 2020-08-25) Anita Nuraeni Putri; Bivitri Susanti; Rizky ArgamaSepanjang 2019-2020, banyak undang-undang yang dianggap bermasalah. Satu hal yang menjadi sorotan yakni pengambilan keputusan yang dihitung berdasarkan pendapat mini dan pandangan umum fraksi, bukan perorangan. Oleh karena itu, masyarakat tidak mengetahui pandangan setiap anggota DPR secara personal. Dalam beberapa kasus, tercatat anggota DPR yang memiliki pendapat berbeda dengan fraksi, namun terpaksa ‘mengalah’ karena fraksi telah memutus berpandangan demikian. Hal ini menjadi pertanyaan karena seolah anggota DPR ‘tidak berdaya’ dalam fraksi. Padahal, masyarakat memiliki hak untuk menuntut pertanggungjawaban anggota DPR secara individual karena telah dipilih secara perorangan, bukan memilih partai politik, sebagai konsekuensi sistem pemilihan proporsional terbuka yang dianut Indonesia. Masyarakat juga tidak memiliki akses terhadap mekanisme yang diambil oleh fraksi dalam rapat-rapat tertutup untuk mengambil sebuah keputusan, sehingga menimbulkan kecurigaan publik tentang apa yang terjadi dalam pengambilan keputusan–yang selanjutnya menjadi pendapat mini fraksi–dalam rapat tersebut. Desain fraksi sendiri menjadi perhatian khusus, karena berada dalam sistem kepartaian dan kultur politik di Indonesia yang masih elitis, sehingga sedikit banyak mempengaruhi pengambilan keputusan mengenai suatu isu dalam pembahasan rancangan undang-undang.
- ItemGanti Kerugian bagi korban Proses Peradilan Pidana (Mengurai Kompleksitas Pilihan Hukum untuk Mendapatkan Ganti Kerugian bagi Korban Penyiksaan dengan Pelaku Anggota Polri)(STHI Jentera, 2022-08-16) Abbas Abdullah; Muhammad Faiz Aziz; Anugerah Rizki AkbariPenelitian ini didasarkan pada premis maraknya anggota Polri yang melakukan penyiksaan saat proses peradilan pidana. Berdasarkan premis tersebut, penulis memilih satu bagian penting, yang seringkali terlupakan, yaitu terkait ganti kerugian. Penelitian ini menganalisis plus-minus dari lima mekanisme yang seyogyanya dapat digunakan untuk mendapatkan ganti kerugian, yaitu: (a) gugatan PMH; (b) ganti kerugian di KUHAP; (c) penggabungan perkara; (d) restitusi; dan (e) Onrechtmatige Overheidsdaad di PTUN. Dari situ, penulis menganalisis mekanisme apa yang seharusnya dibangun agar korban dapat lebih mudah untuk mendapatkan ganti kerugian. Penelitian ini menyimpulkan bahwa yang seharusnya digunakan adalah mekanisme ganti kerugian di KUHAP karena, pada awalnya, merupakan mekanisme designated dan spesifik untuk kasus-kasus seperti ini. Sayangnya, mekanisme ini punya banyak masalah karena ketidakjelasan hukum acara dan rumusan pasal sehingga praktiknya melenceng. Untuk saat ini, mekanisme paling menguntungkan, didasarkan pada praktik di lapangan, adalah mekanisme perdata dengan gugatan PMH. Sayangnya, mekanisme ini juga bermasalah karena, pada banyak kasus, pengadilan membebankan ganti kerugian kepada negara dan pelaku secara tanggung renteng yang membuat eksekusi putusan berlarut-larut.
- ItemHak atas Juru Bahasa Isyarat Bagi Saksi/Terdakwa yang Tuli dan/atau Bisu dalam Peradilan Pidana di Indonesia(STHI Jentera, 2022-08-16) Ni Komang Ayu Leona Wirawan; Giri Ahmad Taufik; Putri Kusuma AmandaPenelitian ini akan membahas mengenai kesenjangan regulasi terkait hak atas juru bahasa isyarat bagi saksi/terdakwa yang Tuli dan/atau bisu dalam peradilan pidana di Indonesia sekaligus tantangan dalam mengimplementasikannya. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur dan juga wawancara baik dengan aparat penegak hukum, pendamping disabilitas, guru sekolah luar biasa dan juru bahasa isyarat. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa masih terdapat kesenjangan dalam tataran kebijakan maupun dalam implementasinya di Indonesia. Dari segi regulasi, PP Akomodasi yang Layak dan Pedoman Pelayanan Disabilitas dalam Lingkup PN dan PT masih membuka peluang absennya akses juru bahasa isyarat, dan akses lainnya karena penilaian personal sebagai langkah awal menemukan akses yang sesuai dengan penyandang disabilitas belum diatur mekanismenya dari tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.Sedangkandarisegi praktik hak atas juru bahasa isyarat menghadapi permasalahan diantaranya juru bahasa isyarat yang tidak aksesibel, aparat penegak hukum yang tidak paham pelayanan disabilitas, sertifikasijurubahasaisyarat, dan miskonsepsi juru bahasa isyarat sebagai alat bukti keterangan ahli. Perbaikan regulasi, peningkatan kapasitas SDM, sekaligus memprioritaskan anggaran fasilitas, dan layanan disabilitas menjadi beberapa hal yang krusial untuk dilakukan agar saksi/terdakwa yang Tuli dan/atau bisu mendapatkan akses sesuai kebutuhannya saat menjalani proses pidana. Kata Kunci: Saksi/terdakwa yang Tuli dan/atau bisu, penilaian personal, pemenuhan akses penyandang disabilitas, juru bahasa isyarat, hukum pidana.
- ItemHarmonisasi Undang-Undang Pengadilan Pajak Terhadap Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan(STHI Jentera, 2019-08-02) Muhammad Kahfi Rahmat Sampurno; Muhammad Faiz Aziz; Dyah Ayu AmbarwatiBanding ke Pengadilan Pajak telah menjadi bahan perdebatan setelah pembentukan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) pada 2008. UU KUP memiliki ketentuan syarat formal pengajuan banding yang berbeda dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak (UU PP). Menurut UU PP, setiap orang yang mengajukan banding harus membayar 50% (lima puluh persen) dari piutang pajak terlebih dahulu. Sementara UU KUP menyatakan bahwa pembayaran piutang pajak hanya dilakukan satu bulan setelah putusan pengadilan pajak dikeluarkan. Sejalan dengan Ketentuan Peralihan UU KUP menyatakan bahwa setiap peraturan pajak lainnya harus sejalan dengan UU KUP. Di lain pihak, Keberadaan Ketentuan Peralihan tidak serta merta membatalkan norma yang berada di UU lain. Untuk menjawab permasalahan ini, MA dan Pengadilan Pajak menyatakan bahwa syarat formil banding merupakan diskresi DJP. Melalui putusannya, tidak semua penggugat wajib membayar piutang pajak. Namun, diskresi DJP pada prosedur formal tidak memiliki landasan hukum. Prosedur fomal merupakan fondasi due process of law. Pelanggaran terhadapnya akan berdampak langsung pada pemenuhan akan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Setiap orang yang mengajukan gugatan baik itu pada Mahkamah Agung maupun Pengadilan Pajak harus mengetahui undang-undang mana yang berlaku sebab putusan akan secara langsung mempengaruhi kekayaan penggugat.
- ItemImplikasi Hukum atas Penundaan Penerapan Peradilan Tata Usaha Militer terhadap Jaminan Ketidakberulangan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia: Studi Kasus Gugatan Keputusan Panglima TNI No. Kep/5/I/2022(STHI Jentera, 2023-08-08) Renie Aryandani; Bivitri Susanti; Fajri Nursyamsi; Bivitri Susanti; Fajri NursyamsiUntung Budiharto tercatat sebagai Pelanggar HAM berat masa lalu, salah satu anggota Tim Mawar Kopassus yang terbukti bersalah dalam kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997 – 1998, diangkat menjadi Pangdam Jaya, sebuah jabatan yang strategis di TNI. Ini bukan kali pertama pelaku pelanggaran HAM berat diberi ruang untuk menduduki kekuasaan sebagai pejabat negara yang memiliki akses kontrol terhadap kehidupan masyarakat. Vetting Mechanism sebagai bentuk jaminan ketidakberulangan seringkali luput dalam pengisian posisi pejabat negara, khususnya pejabat militer. Secara konsep, Peradilan Tata Usaha Militer memiliki sistem dan potensi dalam menjalankan peran kontrol yudisial sekaligus melegitimasi vetting mechanism melalui putusannya. Akan tetapi peradilan ini belum pernah digelar sejak batas waktu diterbitkannya peraturan pemerintah pada 2000 lalu. Penelitian ini menggali implikasi hukum dari ketiadaan pelaksanaan dari peradilan tata usaha militer terhadap jaminan ketidakberulangan pelanggaran HAM berat di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode yuridis empiris, yaitu studi kasus tidak dilanjutkannya proses gugatan oleh Pengadilan Militer Tinggi Jakarta terhadap Keputusan Panglima TNI Nomor KEP/5/I/2022. Kasus gugatan tersebut mengungkap adanya penundaan penerapan peradilan tata usaha militer dan berkaitan erat dengan jaminan ketidakberulangan pelanggaran HAM berat di Indonesia. Implikasinya adalah gagalnya penerapan vetting mechanism sebagai bentuk jaminan ketidakberulangan pelanggaran HAM berat; ketidakpastian hukum yang membuat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik, hukum, dan sistem peradilan; pelanggaran hukum serta hak-hak individu; hambatan proses reformasi institusi; dan pelanggengan impunitas. Kata Kunci: Peradilan Tata Usaha Militer, Jaminan Ketidakberulangan, Vetting Mechanism
- ItemImplikasi Hukum Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong terhadap Masyarakat Hukum Adat Moi sebagai Subjek Hukum(STHI Jentera, 2021-08-04) Khamid Istakhori; Muhammad Faiz Aziz; Fajri NursyamsiPengakuan masyarakat hukum adat termuat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945; negara mengakui dan menghormati eksistensi dan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun, pengakuan tersebut tersebut dibatasi dengan persyaratan: sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, dan diatur dalam undang-undang. Selain itu, pengakuan atas masyarakat hukum adat juga ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 (Putusan MK 35) yaitu: (1) hutan adat bukan hutan negara; (2) hutan adat adalah bagian dari wilayah adat atau hak ulayat masyarakat hukum adat; (3) hak masyarakat akan diakui jika keberadaan masyarakat adat itu ditetapkan melalui peraturan daerah. Putusan MK 35 tersebut menegaskan keberlakuan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terkait pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum melalui peraturan daerah. Namun, dalam pelaksanaannya, masyarakat hukum adat dihadapkan dengan berbagai peraturan yang menghambat proses pengakuan sebagai subjek hukum karena harus memenuhi berbagai persyaratan dan tahapan. Pengakuan bersyarat dan bertahap yang disebabkan oleh kesenjangan pengaturan (regulatory gap) tersebut menimbulkan permasalahan karena proses yang lama dan biaya besar sehingga menghambat pemenuhan hak ulayat untuk menguasai dan mengelola tanah adat, hutan, dan sumber daya alam. Untuk mengatasi permasalahan ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan mandat hak desentralisasi kepada pemerintah daerah sehingga memiliki kewenangan konkuren untuk mengatur dan menentukan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum melalui perda sehingga pemerintah pusat tidak punya kewenangan untuk membuat syarat dan hanya berwenang dalam pengawasan perda.
- ItemImplikasi Pemrosesan Data Pribadi Pasca Keberlakuan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi Terhadap Korporasi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat(STHI Jentera, 2023-08-09) Zahra Isfahani IzdiharRegulasi Pelindungan Data Pribadi di Indonesia terbentuk dengan diundangkannya Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Sebelumnya, Pelindungan Data Pribadi mengacu pada beberapa peraturan dibawah level undang-undang seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Meskipun undang-undang ini akan diterapkan secara penuh 2 (dua) tahun setelah diundangkan, akan tetapi selama masa itu seluruh pihak terkait perlu melakukan penyesuaian atau disebut dengan masa transisisi. Korporasi Penyelenggara Sistem Elektronik lingkup privat menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari UU tersebut. Pemrosesan Data Pribadi yang dilakukan oleh Korporasi PSE lingkup privat harus sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam UU PDP. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang mengunakan pendekatan kualitatif terhadap peraturan perundang-undangan (statute approach) dan disertai dengan teknik analisis yang bernama Regulatory Impact Assessment. UU PDP adalah regulasi Pelindungan Data Pribadi yang lebih memadai dibandingkan dengan regulasi sebelumnya. Implikasi yang dirasakan oleh Korporasi PSE lingkup privat terkait dengan pemrosesan Data Pribadi berdasarkan UU PDP perlu ada pemenuhan hak Subjek Data Pribadi, penyediaan Pengendali dan Pemrosesor Data Pribadi serta pejabat fungsional. Akan tetapi, masih ada kekurangan ketentuan yang belum dicantumkan di dalam UU PDP seperti tidak ada ketentuan terkait dengan level strandar keamanan sistem komputer yang digunakan untuk pemrosesan Data Pribadi dan tidak ada ketentuan penyesuaian terhadap pengecualian pelindungan pada pemrosesan Data Pribadi. Hal tersebut dapat dicantumkan ke dalam sebuah peraturan turunan yang memuat tentang ketentuan teknik pemrosesan Data Pribadi secara lebih lengkap. Kata Kunci: Pelindungan Data Pribadi, Pemrosesan Data, Penyelenggara Sistem Elektronik.
- ItemImplikasi Periodisasi Masa Jabatan Kepala Desa terhadap Tingkat Korupsi yang Dilakukan oleh Pemerintah Desa(STHI Jentera, 2023-08-09) Rahma Nur Aini Kurniatun; Erni Setyowati; Fajri Nursyamsi; Erni Setyowati; Fajri NursyamsiKeberadaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa angin segar bagi pemerintah desa. UU Desa memberikan kewenangan Pemerintah Desa dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Konsekuensi dari pemberian kewenangan ini, Pemerintah Pusat menganggarkan sejumlah dana guna menjalankan penyelenggaraan pemerintahan itu. Namun, ketersediaan dana ini menjadi bumerang bagi pemerintah desa di tengah kondisi desa yang masih bergelut masalah tata kelola internal pemerintahan, tata kelola keuangan desa yang tidak menjalankan partisipasi yang bermakna (meaningful participation), hingga permasalahan korupsi. Permasalahan partisipasi dan korupsi menjadi permasalahan usang bagi pemerintah desa. Terdapat tipologi korupsi sektor desa, yaitu penyelewengan anggaran, proyek/kegiatan fiktif, laporan fiktif, penggelembungan anggaran dan penggelapan. Berdasarkan temuan, periodisasi masa jabatan kepala desa menjadi salah satu faktor yang menguatkan adanya korupsi di desa. Setidaknya terdapat lima puluh tiga kasus korupsi sektor desa yang dilakukan oleh kepala desa pada periode kedua. Selain itu, terdapat faktor penguat korupsi sektor desa, yakni minimnya partisipasi, mandulnya BPD, minimnya transparansi dan mahalnya ongkos sosial. Masalah-masalah inilah yang menyebabkan terhambatnya pembangunan kesejahteraan masyarakat desa. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan dengan menghimpun data lapangan kemudian dianalisis menggunakan hukum. Berdasarkan analisis ditemukan implikasi perpanjangan masa jabatan kepala desa dengan tingkat korupsi sektor desa. Kata Kunci: Korupsi, Masa jabatan, Periodisasi
- ItemKearifan Lokal sebagai Alasan Penghapus Pidana dalam Kasus Tindak Pidana Membuka Lahan dengan Cara Membakar(STHI Jentera, 2021-07-30) Nur Ansar; Anugerah Rizki AkbariTerdapat perbedaan atau ketidakjelasan dalam penerapan Pasal 69 ayat (2) UUPPLH tentang kearifan lokal dalam membuka lahan dengan cara membakar. Dengan menganalisis pertimbangan Hakim dalam perkara yang diputus pada periode 2010-2020 dan dipadukan dengan wawancara serta studi dokumen, penelitian ini mencoba mengklarifikasi perdebatan atau perbedaan penerapan tersebut serta posisinya dalam sistem hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan bahwa, terdapat Hakim yang menjadikan kearifan lokal sebagai dasar membebaskan terdakwa dan ada pula yang menjadikannya sebagai keadaan yang meringankan hukuman. Lebih lanjut, ketentuan yang seharusnya hanya mengikat pada pasal 69 ayat (1) huruf h UUPPLH justru ikut digunakan dalam dakwaan selain pasal tersebut. Perbedaan penerapan kearifan lokal dalam pengadilan tersebut terjadi karena tidak adanya penjelasan lebih lanjut tentang maksud dari memperhatikan kearifan lokal di daerah masing-masing sehingga, dalam pengadilan ketentuan Pasal 69 ayat (2) UUPPLH ditafsirkan berbeda-beda oleh Hakim. Selain itu, ketentuan pasal 69 ayat (2) UUPPLH sebenarnya lebih tepat diposisikan sebagai alasan penghapus pidana dalam konteks tidak adanya sifat melawan hukum materiil. Namun, agar dapat diterapkan secara seragam dalam pengadilan, kearifan lokal dalam membuka lahan dengan cara membakar seharusnya dijadikan sebagai alasan penghapus pidana yang berlaku secara umum. Oleh karena itu, kearifan lokal tersebut seharusnya diubah agar sejalan dengan RKUHP agar nantinya dapat berlaku secara umum, sebagai bentuk pengakuan atas hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat.
- ItemKecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) sebagai Subjek Hukum Perdata di Indonesia(STHI Jentera, 2020-08-30) Reiny Nattasari Latief; Muhammad Faiz Aziz; Aria SuyudiDalam transformasi digital saat ini yang telah memengaruhi masyarakat dan ekonomi kita, kebangkitan Artificial Intelligence tidak bisa lagi diabaikan. Ini tidak akan berhenti tetapi terus meningkat melalui pengembangan dan implementasi perangkat lunak pintar dengan algoritma pembelajaran mesin, teknologi pembelajaran mendalam, robotika, rantai blok, data besar, segala serba internet, semua dengan konsekuensi hukum. Kepemilikan data, kekayaan intelektual, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi peristiwa karena malfungsi atau kesalahan. Karena AI adalah teknologi yang ‘disruptif’ dengan dampak seperti itu pada masyarakat, dan ekonomi kita, diperlukan kerangka kerja regulasi dengan instrumen hukum untuk AI yang berkaitan dengan kekayaan industri dan intelektual, hak cipta, privasi, persaingan, model bisnis, tanggung jawab dan kewajiban, etika dan standar, kepemilikan, jaminan kualitas dan pengembangan produk, dan kontrak. Menyiapkan kerangka peraturan AI yang koheren membutuhkan waktu beberapa tahun dan saat ini tidak semua hal di bidang ini terjawab. Dengan tesis ini saya berharap dapat berkontribusi untuk lebih mengeksplorasi bidang yang menantang ini.
- ItemKedudukan dan Keabsahan Hasil Pemeriksaan Poligraf dalam Sistem Pembuktian Pidana di Indonesia: Tinjauan Prinsip Peradilan yang Adil (Fair Trial)(STHI Jentera, 2019-08-16) Lovina; Anugerah Rizki Akbari; Miko Susanto GintingSkripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, bagaimana kedudukan hasil pemeriksaan poligraf berdasarkan sistem pembuktian pidana di Indonesia? Kedua, bagaimana keabsahan hasil pemeriksaan poligraf ditinjau dari prinsip peradilan yang adil? Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan serta keabsahan hasil pemeriksaan poligraf berdasarkan sistem pembuktian pidana di Indonesia, ditinjau dari prinsip peradilan yang adil. Skripsi ini berkesimpulan bahwa kedudukan hasil pemeriksaan poligraf dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia adalah sebagai barang bukti, yang kemudian dapat dikategorikan menjadi alat bukti surat, keterangan ahli, atau petunjuk. Di samping soal kedudukan, hal lain yang tak boleh luput ketika membahas hasil pemeriksaan poligraf adalah keabsahannya sebagai bukti ilmiah sehingga bisa digunakan di pengadilan. Hingga saat ini, pemeriksaan poligraf di Indonesia masih bergantung pada kualifikasi dan keahlian pemeriksanya yang belum memiliki standar. Selain itu, prosedur dan teknik pemeriksaan poligraf mengandalkan perubahan reaksi tubuh maupun jawaban dari orang yang diperiksa, sehingga sudah sepatutnya penegak hukum dan hakim menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang adil, antara lain pemeriksaan dilakukan secara sukarela, mendapat persetujuan dari orang yang diperiksa, pemeriksaan didampingi oleh penasihat hukum, dan orang yang diperiksa memberikan keterangan secara bebas, serta mendapatkan informasi utuh mengenai prosedur, teknik pemeriksaan, maupun segala dampak yang mungkin timbul dari pemeriksaan tersebut terhadap dirinya, sebagai landasan utama ketika mempertimbangkan hasil pemeriksaan poligraf sebagai bukti ilmiah di persidangan. Jika prinsip-prinsip tersebut tidak diterapkan, maka hasil pemeriksaan poligraf tersebut menjadi tidak sah dan tidak punya nilai pembuktian di persidangan.
- ItemKedudukan Izin Lingkungan Berdasarkan Komitmen dalam PP Nomor 24 Tahun 2018 dan Dampak Pelaksanaannya Bagi Perlindungan Lingkungan Hidup(STHI Jentera, 2020-08-25) Fitriah; Erni Setyowati; Reny Rawasita PasaribuPeraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik mengenalkan ketentuan baru mengenai jenis perizinan yaitu izin dengan komitmen. Izin dengan komitmen ini diberikan salah satunya untuk izin lingkungan. Akibat munculnya izin dengan komitmen ini, alur perizinan dalam sektor lingkungan hidup dan waktu penyusunan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan seperti AMDAL yang sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan juga turut berubah. Dalam kedua peraturan tersebut, izin lingkungan sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan didapatkan oleh pelaku usaha apabila sebelumnya telah dilakukan penyusunan dan telah disetujuinya AMDAL serta diterbitkannya ketetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Sedangkan dalam PP 24 Tahun 2018, izin lingkungan berdasarkan komitmen diterbitkan terlebih dahulu untuk mendaptkan izin usaha sebelum pelaku usaha menyusun AMDAL. Berubahnya alur perizinan dan pemangkasan waktu dalam penyusunan AMDAL, yang dilakukan setelah izin lingkungan dan izin usaha didapatkan oleh pelaku usaha dapat memberikan dampak atau potensi dampak terhadap kondisi perlindungan lingkungan hidup. Jika merujuk pada unsur-unsur KTUN yang diatur dalam Undang-Undang Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Administasi Pemerintahan. Izin lingkungan berdasarkan komitmen tidak dapat didudukkan sebagai sebuah KTUN karen tidak dapat terpenuhinya unsur final dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dari sebuah KTUN. Karenanya apabila dalam penerbitan izin lingkungan berdasarkan komitmen dirasa merugikan masyarakat maka mekanisme yang bisa ditempuh oleh masyarakat dalam hal pengaduan atau komplain ialah melalui upaya administrasi berupa keberatan dan banding serta pengaduan yang dapat diajukan kepada lembaga ombudsman.